Sembilan : Perihal Sebuah Rasa

390 75 47
                                    

KEPALANYA terasa berdentum. Denyutan-denyutan ringan itu masih saja setia memukuli kepalanya kendati tak sehebat semalam. Sisa-sisa sedu itu masih bisa dia rasakan di pelupuk matanya, hingga berat untuk sekadar dia buka. Padahal, sudah hampir seminggu berlalu semenjak acara menyambut kehilangan itu mereka lalui, tapi tetap, perih itu membekas di relung dadanya. Mengoyak jiwanya dengan teramat parah hingga akhirnya jatuh serta tumbang karena sekelumit sakit hati yang menyakiti.

Vio hanya bisa mendesah panjang ketika sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamarnya yang tertutup tirai broken white di sisi kanan. Membuatnya mau tak mau harus beranjak, memungut kesadarannya yang masih berceceran di mana-mana.

Minggu pagi pertama di mana tak ada tegur sapa seperti biasanya. Tidak ada Vio yang sudah berteriak-teriak dari beranda kamarnya untuk membangunkan Chika sedari salat subuh rampung ia laksanakan. Tidak ada Vio yang sibuk membersihkan sepeda mini milik Anin untuk mengantarkan gadisnya hingga gereja. Tidak ada rutinitas itu semua, tidak ada hari-hari menyenangkan yang sudah keduanya jalani selama dua puluh tahun ini.

Yang ada hanya Vio dan Chika dengan semua patah hatinya, hanya ada mereka yang masih larut dalam sekumpulan luka yang menganga.

Tumitnya yang terasa kebas menyentuh lantai kamarnya juga. Menggerakkannya perlahan menuju ke beranda kamar tempat biasa dia berdiri untuk bertukar kata bersama Chika di seberang sana atau sekadar memberitahu agar tak saling melewatkan kewajiban kepada Sang Pencipta.

Vio masih ingat, di tahun pertama keduanya resmi saling berjabat tangan untuk memulai pertemanan, Chika pernah menangis karena dia ganggu malam-malam. Memanggil-manggil namanya berkali-kali, lalu bersembunyi di balik pintu kamar yang waktu itu masih penuh dengan karakter Marvel kesukaannya.

Begitu seterusnya hingga Chika menangis dan berlari meminta rengkuh pada Mario dan Gracia.

Vio juga masih ingat, pagi hari pertama di mana mereka resmi menjadi sepasang kekasih, setangkai mawar pernah ia lemparkan kepada gadis itu—setiap pagi pada enam bulan pertama mereka menjalin kasih. Menyelipkan puisi-puisi di tangkainya yang sudah ia bersihkan durinya, yang jika Vio membacanya sekarang, dia berani menjamin akan membuang semuanya di tempat sampah, membakarnya, menginjak-injak abunya hingga tak lagi ada. Sungguh, dia mengumpati tingkah menggelikannya pada saat pertama kali menjadi kekasih seorang Yessica Tamara.

Pandangannya tersapu ke arah lain, sebelum akhirnya berhenti pada sebuah pohon di pekarangan belakang rumahnya yang terletak sedikit menjorok di tanah milik keluarga Chika. Bukan, bukan pada pohon jambu setinggi tiga meter itu fokus utama Vio. Melainkan rumah pohonnya yang sudah nampak reot dan tak lagi terawat.

Rumah pohon itu—terakhir kali Vio merawatnya, adalah sebelum Ujian Nasional kelas enam Sekolah Dasar kala itu. Saat dia dan Chika berlomba-lomba sampai lebih dahulu, menghindari kejaran anjing milik salah seorang tetangga mereka yang lepas.

Haha, Vio masih ingat semuanya.

"Mas Boby, sedang sibuk tidak?"

Vio menjatuhkan pandangannya ke arah bawah. Di mana Mario baru saja masuk ke pelataran rumah mereka, dengan penampilannya yang dendi dan selalu saja terlihat perlente.

"Ah, enggak. Gimana, Mar?"

Pria paruh baya sejuta pesona, si duda kaya raya yang hari itu berhasil menjerat sang Mama dalam perangkapnya itu terlihat berdiri dari aktivitas menanam bunga matahari di sebelah rumah. Mendekati Mario selepas membasuh tangan di kran air yang tak jauh dari posisi Boby semula.

"Nanti malam datang ke rumah bisa? Ada keluarganya Vino mau datang. Ya itu pun kalau Mas sekeluarga enggak sibuk"

Vio tersenyum sumir dari atas sini. Nanti malam, rupanya dia memang akan segera berjabat tangan dengan kehilangan. Melapangkan dada atas segala kegagalannya menjaga Chika, atas segala kepengecutannya dalam hubungan mereka. Kadang dia tak mengerti mengapa Tuhan harus mengizinkan dia dan Chika saling mencicipi rasa cinta jika pada akhirnya harus dipisahkan karena perbedaan yang juga Tuhan hadirkan kepada mereka, jauh sebelum keduanya saling mengenal dan menjadi dekat semacam sekarang. Kenapa pula dia dan Chika harus bertahan selama itu, menghadapi pasang surut hubungan dalam delapan tahun terakhir, jika pada akhirnya Tuhan tak memberikan pilihan lain atas perasaan mereka kecuali perpisahan?

End Up With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang