Nyeri itu menyayat dadanya. Perih itu bahkan menggoreskan bilur sepanjang ulu hatinya yang terasa kebas sejak beberapa hari lepas. Godam-godam raksasa itu memukul telak tepat di antara sesak dadanya yang tak berkesudahan, menimbulkan riak-riak amarah yang nyaris saja membuat suaranya meledak-ledak, seandainya tidak menyadari sedang di mana ia berada. Ruam-ruam yang menyelinap masuk ke dalam relung jarinya saja belum berhasil ia sembuhkan sebab salah genggam, kemudian kini ditambah dengan kabar yang sedikit banyak membuatnya terkejut setengah mati—atau lebih tepatnya merasa tak dihargai eksistensinya oleh lelaki itu.
Chika sebenarnya tidak masalah—benar-benar tidak pernah mempermasalahkan akan dengan siapa dan mau bagaimana Vino menggoreskan luka di hatinya, pada lembaran-lembaran ceritanya yang penuh romantika jatuh dan bangun itu. Namun, Chika juga tidak percaya jika orang yang selama ini ia percaya akan mampu membuatnya melupakan segala hal tentang kelumit masa lalunya bersama Vio justru menjadi laki-laki pertama yang menggoreskan luka paling dalam pada hatinya—pada perasaannya.
Rentetan tutur kata yang biasanya terdengar rendah dan terdengar lembut itu perlahan-lahan berubah dingin dan kaku. Ada keengganan yang menyelinap masuk ke dalam telinga, yang mampu Chika tangkap dengan sepenuhnya. Kata-kata penuh tendensius itu susul menyusul untuk masuk, menciptakan bilur pada bentur tutur yang tak ia duga merupakan sebuah semu—yang pada akhirnya hanya menambah isak serta sesak yang tak pernah kuasa ia utarakan karena kelunya lidah yang ia punya.
"Saya sudah mengurus semuanya. Tinggal nunggu kapan kita mau ngomong ini sama orang tua kam—"
Chika jauhkan gawai itu dari telinganya. Membuang asal benda pipih yang masih mendengungkan suara Vino kendati sayup-sayup, berlari ke arah kamar mandi dan membungkuk di sana. Kucuran air yang bergemericik di wastafel bercampur dengan tetesan air mata yang merembes keluar dari matanya—antara karena mual yang menjadi-jadi serta masalahnya dengan Vino yang sudah tidak lagi bisa dicari titik tengahnya. Ada gugu tersembunyi yang Chika sembunyikan di balik dadanya, ada ribuan sesak yang mendesak untuk diledakan, namun tak pernah kuasa ia keluarkan. Ada perasaan-perasaan yang pada akhirnya mencegah ia untuk bicara, meski itu kepada Mario atau Gracia yang merupakan keluarganya. Semuanya tertahan, karena rasa bersalah serta ketidaktegaan yang entah mengapa tiba-tiba bersarang di dalam dadanya.
"Masih mual?"
Chika menggelengkan kepala. Mencuci mulutnya dengan air yang mengucur di keran wastafel kemudian menegakkan punggungnya yang semula layu. Mencengkram lengan atas Satya yang entah sejak kapan masuk ke dalam kamarnya.
"Mami buatin teh hangat. Diminum, ya, Dek?"
Chika menggelengkan kepala. Meringsek masuk ke dalam pelukan Gracia yang berdiri di ambang pintu, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang Mama beberapa lama. Chika—tidak butuh semua itu. Ia hanya perlu Gracia. Perlu pelukan ibunya yang tak pernah gagal mendamaikan guruh di dalam dadanya. "Mau peluk Mami"
Di balik punggung putrinya Gracia merotasikan bola mata ke arah sang Putra. Mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada si bungsu ini namun dijawab gelengan kepala oleh Satya. Tangan pemuda itu terangkat rendah, mengusap-usap punggung adiknya yang masih setia membenamkan wajah di ceruk leher Gracia tanpa mau berpindah. Sekadar mengatakan jika mereka berdua—Satya dan Gracia—tidak akan ingkah ke mana-mana.
"Adek pusing banget, ya? Mual banget?" Gracia bertanya pelan. Tangannya juga mengusap-usap punggung putrinya dengan begitu lembut, "Enggak apa-apa, kok. Itu wajar, Sayang. Nanti, kalau udah jalan beberapa minggu udah enggak gitu lagi. Mami dulu juga iya"
Chika masih bergeming. Dekapannya kian erat di balik punggung ringkih sang Mama yang amat ia rindukan. Air matanya masih saja berusaha jatuh, bahkan setelah mati-matian ia tahan dan redakan. Namun, gugu itu tetap saja menggebu-gebu. Menggedak pertahanannya, hingga runtuh sudah semua isak yang ia tahan sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
FanficMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...