Aku sayang Kachika:)
...JAKARTA di pagi hari tidak jauh berbeda dengan saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dua belas tahun lalu. Kabut-kabut tipis melapisi gedung-gedung pencakar langit yang mampu dirinya pandang dari bagian paling atas rumahnya pada pukul setengah enam pagi. Bukan-bukan karena uap air yang berkondensasi, melainkan efek dari polusi yang makin menjadi-jadi. Haha, Chika tak mengerti mengapa saat matahari baru saja merekahkan sinar di ufuk timur sana, Jakarta sudah harus menghadapi kungkungan asap yang dipandang dari sini sudah penuh sesak saja.
Pandangan matanya memang tak pernah bisa berhenti pada satu titik, sekuat apa pun dia berusaha untuk mengalihkan atensi, mengabaikan eksistensi manusia-manusia lain yang sayangnya sudah berkeliaran di sepanjang jalan di depan rumahnya yang justru masih sepi-Mario masih terlelap, Gracia berkutat di dapur, sedangkan Satya-huh, Chika bahkan tak melihat batang hidung kakaknya itu sejak semalam. Entah menginap di mana dan dengan siapa.
Dua orang anak kecil, lelaki dan perempuan, yang jika Chika tidak salah ingat adalah tetangga yang tempat tinggalnya berjarak dua rumah dari rumahnya, sedang bersepeda bersama ayah mereka yang mengekor di belakang sana. Ada juga sang Ibu, yang memimpin di depan. Menggunakan sepeda mini, mengelilingi jalanan kompleks yang sehari-hari di akhir pekan memang sering digunakan untuk bersepeda oleh keluarga-keluarga di sekitar sini.
Senyumnya terbesit samar, saat sesuatu yang hangat mengaliri dadanya yang entah sudah berapa lama dia biarkan beku begitu saja, bertepatan dengan resmi berpisahnya dia dan Vio pada bulan pertama di tahun ini.
Dulu sekali, dia pernah membayangkan akan semenyenangkan apa kehidupannya bersama seorang Vio Rasendriya setiap pagi. Membangunkan lelaki itu pada pukul empat lebih sedikit untuk menunaikan salat subuh, lalu disusul dirinya yang menjalankan Saat Teduh. Keduanya berbagi atap untuk menghadap kiblat masing-masing. Vio dengan sujud dan rapalan zikir panjangnya, sedangkan Chika dengan pujiannya terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Dia sempat membayangkan pula akan sehangat apa takbir pada malam satu Syawal di rumah yang menjadi tempat mereka pulang suatu hari nanti. Ada anak-anak mereka yang berlarian di halaman depan sambil membawa kembang api, juga Vio yang sesekali bergabung hanya untuk menjahili. Akan sesuka cita apa pula acara menghias pohon Natal di tanggal 25 Desember setiap tahunnya. Ada bahu Vio yang siap mengangkat putra-putri mereka untuk memasang bintang di bagian puncak pohon itu, ada juga Chika yang harus dibuat bersabar menghadapi keriuhan, yang kelak, keluarga kecilnya lakukan di bawah kepemimpinan Vio.
Iya, dulu dia punya bayangan kehidupan sesempurna itu.
Sebelum akhirnya Mario mematahkan semuanya. Menjadikan Chika sebagai manusia lemah jiwa yang setiap hari harus menuliskan utas tentang keruhnya patah hati. Pada lembaran-lembaran usang yang kelak akan menjadi saksi betapa dia pernah dibuat sejatuh ini, pernah dibuat seterpuruk ini hanya karena cintanya yang tak bisa dikatakan berakhir indah dengan seorang pria yang selalu saja mampir di dalam kepalanya.
Omong-omong soal patah hati, Chika belum sembuh. Sungguh, dia belum bisa menyentuh kata rela yang katanya akan menjadi sesuatu hal paling indah ketika bisa direngkuh. Karena pada hari ini, Chika masih saja setia dengan perjalanannya mencari donor hati pada manik legam serta tutur kata Vino yang mau tak mau harus bisa dia sukai. Masih mencari penawar atas racun patah hati yang Mario teteskan pada jalan takdirnya melalui dekapan hangat yang kerap Vino bagi sepanjang tiga bulan ini. Dia masih mencari semuanya, berusaha menemukan titik sembuh dari diri calon suaminya yang baik hati, namun tak pernah bisa dia cintai.
Dia masih sering bertanya-tanya, mengapa semua tindak tanduk penuh ketulusan dan kelembutan yang Vino punya, tak pernah bisa membuatnya sejatuh dia saat pertama kali menjabat tangan Vio?
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
FanfictionMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...