Dua Puluh Tiga : Dan Bandung

414 69 67
                                    

...

Ada nada-nada halus yang merambah telinganya pada pukul setengah satu dini hari. Lembut dan sejuk, kala denting-denting melankolis itu menjamah saraf-saraf telinganya dengan amat mesra, mengalunkan lagu yang belakangan sedang senang-senangnya ia-atau mereka lebih tepatnya-senandungkan di setiap sambungan udara yang ia dan gadis itu lakukan.

Tidak keras, lebih mirip dengan gumaman-gumaman kecil namun sukses mengalihkan decak jarum jam yang kelewat keras menjadi sepi di tengah dinginnya angin malam yang berhembus samar melalui pintu penghubung antara kamarnya dengan halaman samping yang sedikit terbuka. Kerik jangkrik terdengar sayup-sayup di telinganya, begitupun dengan dengkang katak di kolam sebelah rumah yang sudah lama tak ia singgahi sebab jumlah katak-katak itu yang semakin banyak setiap harinya. Dua irama-irama itu saling bersahutan, susul menyusul membentuk nada-nada tersendiri di telinga Vio yang kadangkala justru membuatnya merasa sepi dalam sekali waktu. Yang andai saja tidak ada perempuan di layar monitornya ini, mungkin Vio sudah akan tenggelam dalam lamunan panjang penuh kesedihan dan pengulangan-pengulangan menyedihkan tentang perjalanan hidupnya yang kerap ia dramatisasi dengan berlebihan.

Remang cahaya lilin yang berpendar di sekitar perempuan itu membuat Vio tersenyum lamat-lamat. Angka dua dan tujuh bertengger cantik dengan kerlip api di atasnya yang menjadi penerang wajah kuyu itu satu-satunya. Sebelum akhirnya sama-sama tersenyum, begitu si gadis mengusaikan gerak jarinya lalu melipat tangan di meja sebelah ia duduk.

"Selamat ulang tahun, Bapak Rasendriya yang tiap hari ngegalau mulu. Haha, dua puluh tujuh tahun, tua juga, ya?"

Vio tidak kuasa menahan lekuk bibirnya untuk tak merekah semakin sempurna. Ikut melipat tangan di meja makan tempat ia meletakkan laptop itu, lalu membuka suara. "Terima kasih, Kandiya Rafa yang selalu mau jadi tempat sampah gue tiap hari. Haha, sok ide banget, sih, kasih ginian tiap tahun buat apa?"

"Ya enggak apa-apa, sih. Biar lo enggak sedih mulu terus, haha" Kandiya tompang wajahnya dengan sebelah tangan, "Tutup mata terus berdoa, gih, Vi. Keburu lilinnya netes ke donat, nanti mubazir enggak bisa gue makan, haha"

Vio ikut tertawa-entah kenapa, tawa Kandiya selalu saja terdengar renyah dan merekah di telinganya. Memejamkan mata dengan erat, menundukkan kepala sedalam mungkin selama beberapa jenak. Memanjatkan doa kepada Tuhan.

"Aamiin" Vio menggumam, mengusapkan kedua bilah telapak tangan ke depan wajah kemudian tersenyum lagi. "Udah, silakan dimakan, Bu. Perlu tiup lilin juga enggak, nih?"

"Perlulah. Lo kira gue mau makan donat sekalian pakai lilinnya, huh?"

Lagi-lagi Vio tertawa. Meniupkan napas ke arah monitor yang dibersamai oleh Kandiya sebagai pelengkap hingga lilin berangka dua puluh tujuh itu padam seketika. Menghilangkan pencahayaan di layar laptop selama beberapa lama sebelum berganti dengan cahaya terang dari lampu rumah Kandiya yang selalu akan berubah setiap tahunnya-setidaknya selama dua tahun mereka tidak bersitatap secara langsung, rumah itu semakin terlihat rapi dan cantik karena ulah tangan pemiliknya yang selalu tidak bisa diam.

"Enak, Ndy?"

Kandiya yang baru menggigit donatnya menganguk.

"Iyalah. Ini gue buat sendiri tahu, haha. Cuma buat ulang tahun lo yang hari ini melampaui seperempat abad. Tersanjung enggak lo?"

"Enggaklah. Lo aja enggak pernah mau jadi pacar gue" Vio berkelakar, menyulut batang tembakau di bibirnya.

"Bicit, Vio. Jangan ngarep-ngarep gue mau jadi pacar lo. Gue enggak akan pernah mau" Kandiya letakkan donat yang sudah ia gigit separuh itu di sisi laptop, menyeruput teh hijau di dalam cangkir sebanyak beberapa sesap kemudian bersuara, "Apalagi cuma jadi pelarian. Dih, emang apaan"

End Up With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang