KADANG kala, semesta memang kerap sebercanda itu soal perasaan. Ketika dia berusaha berdiri dan menjernihkan lagi patah hatinya yang keruh dan angkuh, ada saja hal-hal sederhana yang menamparnya agar kembali menoleh ke belakang. Kepada kisah-kisah yang telah usai, ke arah cerita usang yang sudah selesai.
Kadang kala, kepalanya juga tak mampu dalam berpikir terang. Tidak lagi bisa menganalogikan sesuatu hal dengan yang lainnya, tatkala satu hingga dua perencanaan seolah berjalan di luar kendalinya. Ada hal-hal sederhana yang mendadak menjadi rumit untuk dia jalankan. Seperti menjamah kata rela dan bahagia serta mencapai titik lupa yang sebenarnya.
Hei, tetapi, sejak kapan melupakan dan merelakan menjadi sesuatu hal yang mudah?
Bukankah sedari dulu dua hal itu selalu menjadi bayang-bayang yang mengikuti perjalanan manusia setiap kali berusaha beranjak dari masa lalunya yang butuh perbaikan?
Ah, iya. Omong-omong soal melupakan, dia jadi teringat kutipan singkat yang entah dibacanya kapan-yang jelas sudah lama sekali, saat dia belum terjerumus ke dalam kekeruhan patah hati yang teramat lancang menebar racun tak terperi.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang pelupa tapi sulit melupakan. Sebab lupa adalah hal yang wajar, sedangkan melupakan adalah proses untuk belajar-ya, kurang lebih begitulah tulisan salah seorang pujangga di suatu waktu kala itu.
Dan barang kali, sekarang dia sedang dituntut untuk kembali belajar melupakan. Kembali belajar membawa pergi lukanya pada titik temu yang hingga saat ini masih nampak semu, agar suatu saat kata sembuh menjadi sesuatu hal yang berhasil dia sentuh dan rengkuh-meski sebenarnya dia juga tidak yakin apakah bisa bangkit dari masa lalu serta cerita-cerita lamanya yang lebih banyak menghadirkan tawa, suka dan cita ketimbang luka.
Delapan tahun-semoga kalian tidak bosan membacanya-tak pernah sedikit pun terlintas dalam kepalanya bilamana suatu hari keduanya akan berjalan masing-masing sebagai sepasang asing yang tak pernah digenapkan oleh Tuhan. Akan berdiri pada halaman yang berbeda setelah segala proses panjang yang keduanya jalankan.
Delapan tahun, dengan romantika jatuh bangun yang tidak sederhana, Vio juga pernah berdiri pada bayang-bayang mimpi yang berupa pengandaian. Pernah terjebak pada bayang-bayang ilusi setiap kali ragu itu muncul di dalam dada, sebelum akhirnya kembali berjalan pada optimisme karena tawa milik Yessica.
Hah, Vio lelah terus tenggelam pada kubangan patah hati yang keruh dan angkuh ini. Apakah tidak ada seseorang yang bersedia mengulurkan tangannya untuk membawa Vio kembali ke daratan kenyataan?
Kakinya yang kokoh bergerak terus menuju ke arah elevator di ujung lorong. Masuk ke dalam kubikel yang terasa kosong, kemudian menghembuskan napas dengan begitu lelah.
Kubikel ini terasa dingin, sepi, dan sunyi. Tidak ada istimewa-istimewanya sama sekali jika dibandingkan dengan hari-hari sebelum ini. Tidak ada pantulan wajah Chika, tidak senyum lebar serta penuh antusias yang tak pernah lindap setiap kali menceritakan bagaimana serunya menjalani hari-hari panjang nan melelahkan di dalam kelas umum tadi, atau bagaimana wajah sebalnya setiap kali harus terlambat sampai di flat dan tertinggal Vio yang sering lupa menunggu.
Haha, sial! Vio menyimpan semua hal tentang Chika di dalam kepalanya hingga melupakan ketersediaan tempat kosong sebagai wadah penyembuhan atas luka hatinya selepas perpisahan nanti.
Elevator itu berhenti. Di lorong tempat unit yang ia miliki. Berjalan sempoyongan dengan semua rasa lelah yang ia punya untuk menggapai kenop pintu kayu cokelat tua di depan sana.
Aroma daun mint serta parfum lily milik Chika, ternyata masih tersimpan di sini hingga detik ini. Berpadu dengan aroma favoritnya, juga segarnya aroma teh yang ada di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
أدب الهواةMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...