7

376 46 0
                                    

Sore hari kulihat mobil Bibi masuk kehalaman rumah, aku berlari mendekat, siapa tau Amelia pulang.

Ternyata hanya Bibi yang keluar dari dalam mobil bersama seorang laki-laki gagah.

Bapak itu memandangku tajam.

"Siapa itu?" Bapak itu bertanya ke Bibi.

"Ini, gara gara anak sialan ini, Amelia putri kita hampir kehilangan nyawanya! Anak sundal! Diurus tapi tidak tahu diri!" Bibi mengumpat dan menatapku dengan bengis.

"Kenapa tidak diusir saja! Kalau membawa petaka?" usul Bapak itu ke Bibi.

Baru aku tahu kalau Bapak adalah Ayahnya Amelia, putri Bibi.

"Mama sudah terpikirkan kesitu Pa! Tapi kita tidak punya pembantu rumah tangga, anak sundal ini bisa bersih-bersih rumah"

"Tapi..., Papa tidak suka! Dia mencelakai anak kita! Papa akan usir dia!" Bapak suami Bibi memandangku marah! Aku merasa terancam dengan tatapan matanya.

"Usir dia! Maaa!" Bapak segera melangkah masuk rumah.

"Heii, anak sundal! Bawa koper dan tas baju Bapak! Semua kantong plastik turunkan!"

Ku ambil kopor besar, berat terasa, terengah aku menurunkan dari mobil, kopor itu tingginya  satu meter, mungkin lebih, terasa berat sekali, hampir aku terjatuh karena tidak kuat.

Terseok ku bawa kopor itu dengan susah payah.

"Hei, hei! Jangan ditarik! Rusak nanti!" Bapak memarahiku, aku tidak kuat mengangkat kopor besar ini, dan aku terjatuh.

"Dasar begok!.kalau tidak kuat bilang!" Di tariknya tas koper dengan kasar, lalu dibawanya masuk kedalam rumah.

Setelah tas plastik kuletakkan di dalam rumah, segera kubersihkan mobil, ku seka bagian yang kotor. Aku mengelap seluruh bodi mobil.

Setelah selesai, aku bergegas masuk kekamarku, aku takut dengan murka suami Bibi.

Dikamar, kupeluk adikku Marni, kubelai, kucium adikku, aku harus segera pergi dari rumah ini. Tapi aku harus kemana? Uang aku tak punya, aku harus bertanggung jawab sama adikku.

Malam harinya, aku gelisah, aku mencari jalan agar aku bisa pergi dari rumah ini.

"Murniiii! Murniii!" lengkingan suara khas Bibi memanggilku, aku segera melepas pelukanku ke adikku dan aku berlari masuk kedalam rumah.

"Ya, Bu? Ada apa?" ku hampiri Bibi yang sedang duduk dengan suaminya bersantab malam.

"Cuci baju yang di keranjang semuanya! Tidak usah pake mesin! Baju Bapak mahal semua! Hati-hati! Cuci sekarang juga! Ngerti?" Aku tak berani membantah, ku tahu di sumur belakang tidak ada penerangan sama sekali, gelap, aku mencari akal.

Akhirnya kucuci baju di kamarku, nanti kubilas di luar, biar terkena sinar lampu kamarku, walau redup tapi lumayan terlihat mana baju yang kotor, mana baju yang putih, sekuat tenagaku ku kucek baju di kamar dengan tangan, adikku Marni telah terlelap tanpa makan nasi, hanya buah alpukat makan malam kami.

Tengah malam pekerjaanku selesai, kugantung semua baju di samping rumah, ada juga beberapa baju Bibi dan Amelia, di baju Amelia ada bercak darah yang sudah mengering, nodanya tidak bisa hilang semuanya, masih terlihat menguning walaupun sudah ku gosok dengan sikat sekalipun.

Aku belum kuat untuk mencuci sebanyak ini, apa lagi baju orang dewasa, celana panjang Bapak, handuknya, lelah sekali, aku menggigil kedinginan tanpa makanan.

Pagi harinya, aku bangun kesiangan, tanpa gosok gigi dan cuci muka. Aku berlari masuk rumah, rumah masih sepi. Segera ku berbenah dengan tergesa-gesa, ku benahi sisa-sisa makan Bibi dan Bapak semalam yang masih berserakan di meja makan.

Emak (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang