10

416 46 3
                                    

Di bulan yang penuh berkah ini, aku dan adikku belum merasakan kebahagiaan seorang anak dalam menjalankan ibadah.

Kehidupanku dan adikku masih tidak berubah, kami berdua masih tetap hanya memikirkan makanan untuk hari ini dan esok, tidak memikirkan baju baru atau kue lebaran, hanya beras, garam dan mie instan, adikku Marni sekarang selalu merengek kalau makan minta sayur mie instan.

Biasanya satu bungkus mie instan bisa untuk dua kali makan kami, mie instan ku masak separo untuk pagi, dan separo untuk malam.

Sudah dua tahun emakku meninggalkan kami tanpa ada kabar apapun, rasa rindu aku dan adikku ke Emak lambat laun berkurang, Murni adikku juga sudah tidak menangis lagi memanggil Emak di malam hari.

Bulan Ramadhan ini, aku tidak punya pekerjaan lagi, karna tempatku bekerja libur panjang, sampai selesai bulan Syawal.

Untuk menyambung hidup kami, aku berusaha menawarkan tenagaku untuk bekerja di rumah tangga, tapi tidak ada yang mau menerimaku, dianggapnya aku masih anak kecil, padahal aku mampu bekerja di rumah tangga.

Marni belum menjalankan puasa, hanya belajar sampai tengah hari, lumayan juga kami bisa berhemat.

Pagi-pagi sekali aku dan Marni sudah berangkat mengais tempat sampah tetangga-tetangga kami, kadang aku dan adikku juga berjalan lumayan jauh untuk mencari barang bekas.

Tengah hari terik matahari memanggangku, rasa haus dan lemas membuatku beristirahat dibawah pohon rindang.

"Nak, itu di sana ada pembagian sembako loh, di rumah paling besar itu! Ayo kita kesana, lumayan dapat sembako dan uang." Ada Bapak-bapak tukang sol sepatu keliling mengendarai sepeda berhenti di dekatku, dan mengajakku untuk minta sedekah sembako yang sedang dibagikan hari ini.

"Apa boleh, kami ikut pak?" aku ragu.

"Boleh, boleh, itu sembako untuk fakir miskin seperti kita, ayo!" aku bangkit dari duduk, dengan tergesa, ku ikuti Bapak tukang sol sepatu menuju rumah besar.

Aku sangat senang, setidaknya aku akan punya cadangan makanan!

Setelah dekat, langkahku terhenti, kutarik adikku untuk tidak mendekat. Itu rumah Nenek yang membagi sembako!

"Maaf, Pak! Saya tidak jadi ikut!" tanpa ku tunggu jawaban Bapak tukang sol sepatu, aku berbalik arah, tidak jadi mendekati rumah Nenek, rasa kecewa berkecamuk di dadaku.

Hari ini aku hanya mendapat uang lima ribu rupiah, kubelikan beras semuanya.

Aku pulang, waktu berbuka puasa masih lama, entah kenapa hari ini terasa lemas sekali, mungkin faktor makananku yang tidak bergizi.

Aku tertidur di lantai, terasa dingin dan nikmat tidur di lantai, adikku Marni, ku suruh tidur di kamar.

Mungkin aku terlalu lelah, adzan Magrib pun tidak ku dengar, aku dan adikku sama-sama terbangun dan kaget! Hari telah malam, aku belum berbuka, segera ku teguk secangkir air putih, di sinari lampu teplok kami, aku mulai memasak nasi, jam sembilan malam baru kami makan.

Rutinitas kerjaku mencari barang bekas, tetap aku jalankan dengan semangat, semoga hasilku banyak, biar aku bisa membelikan baju lebaran untuk adikku serta sandal. Kulihat sandal Marni sudah tipis sekali, sudah dua kali ku ikat dengan peniti. Aku kasihan, adikku kadang kakinya tergores peniti di sandalnya.

Idhul Fitri kurang dua hari, harapanku pupus, aku tidak bisa membelikan adikku baju baru dan sandal, hasil dari mengumpulkan barang bekas, hanya cukup untuk makan kami berdua.

Malam harinya, ku ambil tabunganku, uang dari Amelia, yang kusimpan untuk menyekolahkan adikku, terpaksa aku ambil seratus ribu rupiah, akan kubelikan sandal dan baju baru adikku.

Siangnya, sambil memulung, ku singgah di toko baju di kampungku, kubelikan Marni baju baru dan sandal, Marni senang sekali. Senyum dibibirnya tak berhenti, riang Marni, aku sangat bahagia melihat adikku senang.

Malam Idhul Fitri, Marni ku ajak duduk di depan rumah, menikmati malam Idhul Fitri.

Ramai anak-anak menuju Masjid, gema takbir bergema merdu di mana-mana, menyayat hatiku, Marni memandangi indahnya kembang api di angkasa, aku duduk memandang bintang yang bertaburan di malam yang cerah.

Aku berharap ada emakku diantara jutaan bintang.

"Maaak! Aku rindu, kemana Emak? Datanglah Mak, walau sekejap!" aku berteriak kuat, Marni memelukku dan kami menangis.

Tidak ada tetanggaku yang perduli terhadap kami, mungkin karena tetanggaku juga miskin, sebelah rumahku, tempat ku minta air dulu, sudah pergi dari awal puasa di jemput anaknya, tetangga sebelah lagi, sepasang suami istri yang telah renta, tidak pernah ada yang melihat nasib kami berdua.

Aku sudah lupa rasanya ketupat, atau kue lebaran yang lezat. Dulu kami pernah makan waktu ada Emak, sekarang kami hanya tahu yang lezat itu hanya garam, mie instan dan telur.

Malam Idhul Fitri, aku hanya berharap Emak datang, memeluk kami.

Pagi harinya, aku dan Marni sudah mandi, aku sudah memasak nasi, beras kami hampir habis, ku masak nasi dengan air yang banyak, agar cukup untuk kami makan sampai malam.

Gema takbir masih berkumandang, kulihat dari balik jendela, orang berduyun-duyun pergi ketanah lapang yang tidak jauh dari rumahku.

Seperti tahun-tahun yang lalu, aku dan adikku hanya memandang orang pergi untuk sholat Idhul Fitri, aku tidak melaksanakan Sholat, aku tidak punya mukena, adikku juga.

Hari raya ini, kulihat Marni mengenakan baju baru dengan riang, aku memakai baju seperti biasa, kumal. Biarlah.

***

Emak (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang