15

443 47 0
                                    

"Maaf bu, Murni tidak bisa mengendarai motor, Murni naik sepeda saja bu?" Aku menolak! Aku juga tidak bisa naik motor.

"Aduuh! Naak, ini wasiat Bapak, harus diserahkan. Belajar aja dulu di sini, nanti mas Candra yang mengajarimu, mau..?"

"Maaf Bu, bolehkah Murni, menolak? Wasiat Almarhum Bapak, Murni terima, dan Murni serahkan kembali ke Ibu"

"Oh, tidak! Tidaak! Ini untukmu, ibu dan anak-anak ibu ihklas kok, dan wasiat harus di laksanakan! Murni harus menerimanya, nanti Bapak sedih loh, kalau Murni tidak mau menerima?" aku bingung mau bilang apa.

"Baik Bu, terima kasih, Murni akan belajar"

Aku pamit pulang, besok kembali ke rumah pak Madi untuk belajar mengendarai motor.

Sepanjang jalan pulang, kukayuh sepeda perlahan, aku sedih kehilangan pak Madi, dan aku merasa berat menerima pemberiannya.

Rutinitas tetap kulaksanakan, demi cita-cita kami.

Ke esokan harinya, aku datang kerumah bu Madi, untuk belajar motor. Ternyata dengan mudah aku bisa menjalankanya. Memang bukan motor matic, dan bukan motor bagus. Tapi aku bersyukur, bermimpi pun tidak aku mempunyai motor.

Dua hari aku belajar, kini motor itu kubawa pulang. Sesampainya di rumah, motor ku bersihkan ku parkir di dalam kamarku, depan tempat tidurku, takut hilang.

Marni bahagia sekali, kulihat binar kebahagiaan di matanya. Ku pandangi motor itu dengan takjub, serasa bermimpi.

Pagi harinya, ku bawa dagangan memakai kantong plastik, kalau memakai kotak kayuku akan susah.

Motor kujalankan dengan pelan, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku, ku kuatkan hatiku untuk tetap melaju pelan menuju sekolah Marni.

Akhirnya sampai juga, aku turun perlahan. Lalu Marni juga turun. Gemetar dan lemas rasa seluruh badanku. Baru hari ketiga aku mengendarai motor dan baru kali ini lumayan jauh. Kemarin aku di antar mas Candra pulang.

Kembali kugelar daganganku, hari ini lumayan laris. Daganganku hampir habis. Pernak pernik mainan anak murah, ada pinsil warna, yang kujual eceran, ada balon, ada kue kecil-kecil, dan masih banyak ragamnya.

Setelah Marni pulang sekolah, kusuruh Marni tetap di rumah menjaga motor kami yang sudah kumasukan kekamar kami. Aku kepasar naik sepeda, aku belum berani melewati jalan yang ramai, seperti ke pasar.

Kembali dari pasar, aku melewati rumah nenek. Kulihat toko nenek, sepi. Kata orang sih mulai bangkrut setelah kematian Bibi, nenek begitu terpukul.

Aku lewat biasa saja, aku malas untuk berhenti. Waktu kulihat Bapakku berdiri dipinggir jalan, aku tak mau walaupun hanya sekedar menegur. Samar kudengar namaku dipanggil.

"Murni!" aku tidak menyahut, apa lagi menengok. Aku tak mengenalnya. Segera kukayuh sepeda dengan cepat, tak kuhiraukan panggilan itu.

Bapak memanggilku? Fikiran itu terus menghantuiku, aku takut.

Sesampainya dirumah, kudekap erat adikku. Aku menasehati adikku bila sendirian dirumah, jangan sampai membukakan pintu siapapun. Pintu harus selalu terkunci.

Aku mulai sekarang, bila pergi kemanapun, adikku akan ku ajak selalu. Akan ku jaga seperti kata Emak dulu.

Kini aku aku sudah lancar mengendarai motor. Aku berkunjung ke rumah Ibu Madi. Tapi sesampainya di sana, kudapati rumah kosong. Kata tetangga, Bu Madi pindah ikut Mas Agung.

Hatiku sedih, halaman rumah kotor sekali, penuh daun kering dan rumput liar.

Aku dan adikku segera mencari sapu lidi. Kubersihkan halaman rumah Bu Madi, ku cabut semua rumput liar di halamannya. Akan kubersihkan setiap minggu rumah ini.

Emak (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang