13

419 52 1
                                    

Emak berjalan menuju Marni, didekapnya Marni erat.

"Anak mama..." ada air mata di pelupuk Emak, aku masih tidak percaya dan enggan menyebut Mama! Aku anaknya Emak, bukan mama!

Aku masih tidak bergerak, tetap berdiri mematung, memandang sosok yang ku rindukan selama ini, dan aku kecewa! Aku kehilangan emakku, emakku yang polos dan bau harum keringat, bukan parfum yang menyengat.

Air mataku deras mengalir, tak kuhiraukan tas plastik besar yang teronggok di pojokan ruang tamu.

Laki-laki yang bersama Emak, duduk selonjor di lantai beralas tikar bututku, ada rasa jijik ku rasakan, pandangannya tidak ramah, tidak tersenyum kepadaku dan adikku, hanya memandang.

"Anakku, kalian sehat kan?.maafkan mama ya? Mama hanya sebentar di sini! Mama mau memperpanjang izin kerja, dan lainnya, minggu depan mama berangkat lagi, kalau surat-surat sudah selesai" aku memandang Emak dengan tidak percaya kalau itu emakku.

"Murni, tadi mama kerumah Bibi, tapi rumahnya kosong, mama kira Murni dan adik, masih tinggal disana. Kenapa pergi dari rumah Bibi, Murni?" aku diam tak menjawab.

Adikku juga hanya memandang Emak, tidak berkedip.

"Murni, bikin teh manis doong ... untuk Om Tarjo, dan untuk mama!" aku terkejut dengan perintah Emak! Teh manis....?

Aku kikuk menghadapi Emak, sepatu Emak, walau didalam rumah, tidak dibuka.

"Maaf, saya tidak punya teh dan gula" Aku malas memanggilnya Mama!

"Kamu ini gimana sih, masak gula dan teh saja tidak punya!" Emak sedikit marah, aku kecewa dengan Emak. Emak tidak tahu kalau kami sering kelaparan, jangankan gula, kecap saja kadang tidak terbeli, Emak tidak tahu, kalau kami, anaknya, tidak pernah memakai sabun, bahkan kami sering berada di kegelapan bila malam.

"Ya sudah, ini beli gula, teh dan kopi!" Emak memberiku uang seratus ribu, aku bergegas kewarung, ku beli teh, gula dan kopi.

"Ini kembaliannya." kuserahkan semua kembalian uang sisa membeli gula, teh, dan kopi.

"Ya, bikin teh doong! Mama haus, om Tarjo juga tuh!"  aku bergegas ke belakang rumah dan ku rebus air, kuseduh teh dua cangkir plastik, segera ku suguhkan ke Emak dan temannya.

Aku mendengar Emak dari tadi tertawa cekikikan dengan om Tarjo, aku tidak suka.

"Murni, mama tidak tidur di sini ya? Kan tidak ada tempat tidurnya, untuk mama dan om Tarjo" aku hanya mengangguk pelan. Dalam hatiku, aku bersyukur teman Emak tidak tidur di rumahku.

"Besok, baru mama tidur disini!" Aku kembali mengangguk tak mengerti, kenapa Emakku akan pergi lagi, aku tak berani bertanya.

Malamnya, Emak pergi di kegelapan malam, Emak belum sempat masuk ke kamarku atau bertanya bagaimana aku dan adikku selama ini, kantong plastik putih juga tidak diserahkan padaku, hanya di onggokan di ruang tamu, aku gandeng adikku, ku ajak tidur.

"Marni, jangan fikirkan Emak ya? Itu tadi bukan Emak kita, itu saudaranya Emak!" Aku berbohong ke adikku dan adikku mengangguk.

"Kak, kapan ya, Emak kita pulang? Marni kangen kak?" Marni menangis.

"Pasti Emak pulang, sabar yaa?" aku usap adikku, akan ku sayangi dan akan selalu ku jaga.

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun, sholat Subuh, berbenah dan mandi.

Selesai mandi, aku memasak nasi, kubangunkan Marni, akan ku ajak Marni kekelurahan, minta surat miskin.

Marni sedang makan, aku menyiapkan kertas dari RT, RW, yang akan ku bawa, aku tidak memikirkan Emak.

Emak (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang