Roda itu terus berputar, aku menyadari itu. Rodaku juga akan terus berputar. Aku tidak boleh membalas dendam, tapi adikku tidak bisa menerima penderitaan masa lalu. Betapa terlukanya kami, betapa hinanya kami, betapa tiada artinya kami. Masa kecil yang tidak ingin ku ingat, ingin kuhapus masa kelam disaat kanak-kanak kami.
Kupandangi wajah garang, wajah ketus, wajah bengis Nenek. Kutatap kesombongan bapak dan Nenek di masa lalu, tidak tersisa!
Kerut renta wajah Nenek, rambut putih Bapak, aku trenyuh.
"Maaf Bu, masa lalu membuat adikku suka bertanya? Kemana Bapakku? Anak siapa kami? Kesengsaraan membuat kami belum bisa menerima semua ini. Kami tidak layak menjadi keluarga Bapak dan Ibu maafkan kami"
Aku berbicara pelan ke Bapak dan Nenek. Nenek memandangku dengan memelas, ada sorot marah di mata Bapak.
"Maaf, sekali lagi, kepada kalian yang terhormat! Kami mohon maaf, karena kami ini tidak punya saudara di sini. Entah siapa Bapak kami. Selama ini kami tidak mengenal siapa Bapak kami!" Murni memandang dengan penuh amarah.
"Ya, sudahlah! Saya dan Ibu saya juga tidak butuh kalian! Permisi!"
Kulihat Bapak marah, wajah aslinya terlihat bengis. Aku teringat masa lalu, betapa hebatnya Bapakku.
Bapak dan Nenek pulang, Nenek berjalan tertatih. Kulihat layu muka Nenek.
Aku tidak bisa mencegah ucapan-ucapan adikku. Sebetulnya aku kasihan melihat semua ini.
Emak, tetap didalam kamar. Kudengar isak tangis Emak. Hatiku terluka.
Rutinitas kujalani dengan penuh harapan. Aku bahagia melihat Emak sudah kembali seperti sedia kala. Fikiranku hanya kepada Emak dan adikku. Akan kutebus kesengsaraan kami dulu.
Dagangku semakin maju. Tokoku berkembang pesat. Aku sudah punya dua karyawati yang kuambil dari remaja kurang mampu. Aku menganggapnya adikku, kuperlakukan dua karyawatiku sebagai mitra kerja. Aku selalu memberi motivasi untuk berhemat demi masa depan. Kujujuran yang aku tekankan. Aku selalu membimbingnya dengan cinta. Tak pernah aku membentaknya. Kuperhatikan juga makan karyawatiku.
"Murni! Ini bapak!" ku dengar ketukan di pintu di hari minggu pagi, aku tersentak kaget!
"Kok, Bapak tidak tahu malu datang terus kerumahku, ada apa? aku tidak suka!"
"Murni, bapak boleh masuk!"
"Maaf pak! Ada apa ya?"
"Murni, saya itu bapakmu, kenapa kamu tidak bisa menerima bapak?"
"Maaf, untuk aku, emakku, adikku, mohon jangan diganggu kehidupan kami! Seperti kata adikku, aku dan adikku tidak punya Bapak. Kami anak haram, kata bu Mira dulu! Jadi saya mohon, sudahlah! Jangan kemari lagi! Mengganggu kebahagiaan kami! Semoga Bapak mengerti!"
"Cukup! Kalian telah menghina saya dan ibu saya! Sekarang, segera pergi dari rumah ini! Saya beri waktu satu minggu! Kalau tidak, bayarin rumah ini! Atau saya jual dengan orang lain! Saya butuh uang!"
"Bapak tidak bisa mengusir kami! Dulu rumah ini diberikan ke kami, oleh Ibunya Bapak!"
"Tidak! Tidak ada hitam diatas putih! Saya tunggu dalam minggu ini!" Bapak meninggalkan rumah kami dengan langkah kemenangan.
Sepeninggal Bapak, aku termenung gelisah. Aku baru membeli toko baru. Uangku telah habis untuk membeli toko baru dan barang dagangan. Kuputar otakku untuk mencari cara agar rumah ini terbeli oleh kami.
Tidak kuberi tahu Emak dan Marni atas kedatangan Bapak. Emak dan Marni sedang kepasar. Kata Emak, Emak ingin beli ayam. Emak akan menggoreng ayam untuk kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emak (END)
General FictionYah.. cuman pojokan sebuah kisah. Kisah ini diketik bukan oleh author ya... Author hanya semata-mata sebagai penyalur aja...