12

394 44 2
                                    

Dengan banyaknya rezeki yang ku dapat akhir-akhir ini, aku mulai merasa malas untuk bekerja, hari ini aku dengan enggan akan ke sekolahan SD, aku mau bertanya tentang syarat masuk SD. Marni sudah siap di depan rumah.

"Ayoook kaak! Sudah siang, nanti terlambat!" Aku segera mengunci pintu, terus berangkat menuju sekolahan SD yang dekat dengan rumahku, bukan SD ku dulu yang dekat rumah Nenek.

Sesampainya di sekolahan SD, aku langsung menuju kantor Kepala sekolah, ada sekertaris Kepala sekolah di ruangan itu.

"Assallam'muallaikum" aku berucap salam dengan pelan, ada rasa segan untuk masuk keruangan yang besar dan bersih.

"Wa'alaikum sallam, masuk Dek!, ada apa?" Jawabnya ramah dan tutur katanya lembut, ada keberanian di hatiku.

"Saya, mau mendaftarkan adik saya sekolah di sini buu?"

"Umur berapa adiknya?"

"Bulan lalu sudah tujuh tahun Bu."

"Ini tolong, dibawa pulang syarat-syarat yang tertulis dikertas ini ya? Kemana Ayah, Ibumu? Kok kamu yang mendaftarkan!" Aku merasa terpukul dengan pertanyaan Ibu Sekertaris Kepala sekolah.

"Ibu saya bekerja, entah dimana Bu.., kalau Ayah, saya juga tidak tahu beliau berada di mana?" Aku tertunduk lesu, harapan ku untuk menyekolahkan adikku, terasa sulit untuk ku wujudkan.

"Ow, ya sudah, isi formulir ini, terus lengkapi syaratnya, itu semua tertera di kertas formulir, besok kalau sudah lengkap, kembali lagi ke sini ya?"

"Baik, Bu...." Segera ku lipat kertas pendaftaran dan persyaratan yang juga tertulis di kertas.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku meninggalkan sekolah, ku gandeng erat adikku, harapan untuk menyekolahkan adikku mulai terwujud.

Kertas pendaftaran, ku bawa dengan hati-hati, takut lusuh, belum ku baca sedikitpun.

Sesampainya dirumah, aku mulai membaca persyaratan adikku sekolah.

Aku ragu, disitu tertulis, Kartu Tanda Penduduk orang tuaku, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran. Aku bingung dan merasa lemas, mana punya itu semuanya.

Ku bongkar lemari rapuh kami, ku cari map putih tempat biasanya Emak menyimpan surat.

Ketemu! Kubuka dan ku cari.

Aku mendapatkan Kartu Keluarga, dan dua buku nikah emakku dan bapak.

Ternyata emakku istri sah bapakku, ada buku nikah dua yang berwarna berbeda, satu hijau lumut, dan satunya merah bata. Buku yang menandakan Emak dan Bapak menikah resmi dan sah di Negara. Akte kelahiran adikku tidak ada. Aku masih punya harapan, akan kubawa buku nikah orang tuaku kesekolah, Kartu Keluarga ku foto copy siang ini juga, ku isi lembaran formulir yang bisa ku isi dan yang ku mengerti, aku tidak punya pulpen, isian ku tulis dengan pensil yang kutemukan waktu aku memulung.

Masalah biaya? Uangku belum cukup! Disitu tertera baju seragam sekolah, baju olah raga dan uang komite sekolah.

Aku yakin, adikku bisa sekolah!

Ke esokan harinya, aku dan adikku kembali mendatangi sekolah, ku serahkan semua berkas, berikut foto copy nya. tak lupa ku bawa uang tabunganku, semuanya aku bawa.

"Ini, persyaratannya kurang! Kan sudah jelas tertera di kertas, buku nikah orang tuamu ini untuk apa?" Sesampainya di sekolah, ku serahkan berkas ke Ibu sekertaris Kepala sekolah, aku menunduk, saat Ibu tersebut sedikit berucap keras, sambil mengembalikan map yang ku bawa.

"Terus, ini uang apa? Kalau seragam dan komite masih kurang banyak, kamu tahu kan jumlahnya berapa? Kalau seragam harus lunas, komite boleh di bayar tiga kali, pertama bayar dulu setengah, terus sisanya boleh di cicil tiga kali, ini seragam, cukup, tapi untuk komite yang setengahnya, masih kurang! Lunasi dulu baru ibu catat, akte menyusul boleh, mengerti kan?"

Aku mencoba meminta keringanan, dengan menceritakan kondisi kami, lalu kami diminta untuk meminta surat tidak mampu ke RT, RW, dan Kelurahan. Duuuh....

Lesu aku pulang kerumah, adikku bicara pun, tidak ku jawab.

Ada perasaan marah ke Emak, Bapak, yang tidak menghiraukan kami, tapi akan ku urus semua surat, demi adikku bisa sekolah.

ke esokan harinya, aku mendatangi pak RT, untuk minta surat pengantar.

Ibu RT tidak berada di rumah, sehingga hanya pak RT saja yang berada di rumah. Sudah lama kata orang bu RT ikut anaknya yang cukup jauh rumahnya.

Dengat tekad dan semangat. Aku tetap kerumah pak RT dengan adikku.

"Assalam'muallaikum!" ku ketuk pintu rumah pak RT.

Pintu terbuka!

"Ada, apa! Ayo masuk!" Aku masuk rumah pak RT dan duduk dikursi tamu.

"Pak, saya mau minta surat keterangan, bahwa kami miskin, untuk adikku mendaftar sekolah"

"Ow, adikmu sudah mau sekolah?" Sahutnya ramah, pandangan mata pak RT menatapku tajam. Ada rasa takut di hatiku, ku peluk adikku erat.

"Adikmu, di sini dulu, kamu ikut masuk ke dalam tanda tangan dulu?" kata pak RT ramah, aku curiga, ada apa? Aku ingat kata mbah Girah, aku tidak boleh dekat-dekat dengan laki-laki, nanti aku bisa hamil.

"Saya tunggu disini saja pak! Adikku tidak mau saya tinggal!"

Pak RT masuk kedalam rumah dan membawa kue satu bungkus diberikan ke adikku, adikku senang sekali dan duduk diam di kursi menikmati kue.

Aku di tarik ke dalam rumah.

"Ayo, itu suratnya tinggal tanda tangan!" Dengan berat hati aku ikut pak RT masuk kedalam, sampai di meja makan, kulihat secarik kertas berikut pena, pak RT sudah tanda tangan dan di cap.

"Sudah! Sana pulang!" pak RT sedikit membentakku. Aku lalu berlari ke adikku.

"Assallam'muallaikum!, terima kasih!" Aku bergegas pergi, aku takut sekali. Ku tarik adikku, ku ajak berjalan cepat.

Sampai di rumah, aku terengah-engah, ada ketakutan di hatiku mengingat tatapan pak RT yang menghujam di ulu hatiku.

Pintu depan ku buka, aku ingin menikmati semilir angin di siang ini, aku tiduran di lantai, rasa takut dan putus asa dalam menyekolahkan adikku, berat sekali.

Ingin ku serahkan Marni ke Nenek, agar mengurusnya, tapi Nenek sangat jahat. Tak terasa air mataku meleleh, akhirnya aku tertidur dalam kegundahan.

"Bangun, banguun!, Murni!, bangun!" seseorang membangunkanku, mengguncang tubuhku, aku terbangun.

Didepanku berdiri seorang wanita dan seorang pria, yang wanita memakai sepatu boat hitam danrok merah pendek dari bahan seperti plastik.

Aku pandang wanita itu, rambut merah panjang tergerai, baju atasan tipis dan memakai jaket levis, wanita itu berdandan cukup menor, yang laki-laki, berambut merah juga, dengan sorot mata tajam, memakai jaket yang sama dengan yang wanita, ada kalung putih besar di lehernya.

"Murni! Ini Mama, naak!" ku perhatikan seksama wanita itu, aku terbelalak!

"Emaaak!" ku berteriak kuat! Segera kupeluk emakku dengan kuat, aku menangis sekuatku, adikku Marni terbangun dan memandang takut kearah Emak.

"Hus! Jangan panggil Emak!, panggil Mama!" tangisku berhenti, kembali ku pandang emakku, bukan emakku ini? Emakku tidak bergincu, emakku memakai jilbab, emakku selalu santun. Ini didepanku, seorang wanita moderen, tak berhijab, cantik sekali, dengan sepatu boat dan rok pendek, ini bukan emakku!!

***

Emak (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang