9

378 44 0
                                    

Adikku Marni menangis, aku juga menangis, sedih, marah, takut, Nenek masih marah tidak ada hentinya mengumpat, kadang meremas mukaku, kuku-kuku panjangnya mengenai kulitku, perih kurasakan, sumpah serapah mengumpat emakku, air mataku deras mengalir sia-sia.

Mobil memasuki halaman rumah Nenek, aku gemetar menanti nasib burukku.

"Turun!," Adikku di tarik dan jatuh, lututnya terantuk batu dan berdarah, kupeluk adikku.

"Kenapa kalian jahat!" Keberanianku, mengiringi kemarahanku, aku marah melihat adikku jatuh dan berdarah.

"Plak! Plak!," Nenek menamparku bertubi-tubi, aku tidak takut.

"Kenapa kalian jahat! Apa salah saya dan adik saya! Apa saya merugikan Ibu! Kejam kalian! Tidak punya belas kasihan!" aku marah dengan berurai air mata ku usap darah dilutut adikku, Nenek masih menatapku dengan wajah bengis.

Ada mobil masuk kehalaman Nenek, mobil Bibi, aku harus berani.

Bapak, suaminya Bibi turun, bertanya ke Nenek, Bibi juga turun.

Nenek dengan jahatnya mengumpatku dan adikku, ngeri sekali aku melihat mimik mukanya, sopir Nenek memandangiku dengan nelangsa.

"Oh, ada anak sundal, ketemu dimana ini anak, jangan kasih ampun! Mana-mana, sini saya yang memberi pelajaran! Biar jera!" Nenek, Bibi, dan suaminya mendekatiku, kupeluk adikku erat, bila aku melawanpun aku akan kalah, aku hanya pasrah.

"Hentikan! Memang kalian ini orang yang kejam! Belum sadar juga Mama dan Papa! Lihat saya! Karma  itu menimpa saya! Saya begini akibat kekejaman Mama! Belum puas juga!" Amelia turun dari dalam mobil, ku lihat wajah Amelia yang cantik tampak pucat.

Amelia mendekatiku dan memelukku erat, Amelia menangis keras, adikku juga dipeluknya.

"Papa! Amelia jadi begini karena siksaan Mama ke Murni, dan mengenaiku! Malam itu Mama memukuli Murni dengan gagang sapu! Aku melindunginya karena Amelia tidak tega melihat Murni disiksa Mama! Akhirnya gagang sapu itu mengenai kepala Amelia, dan di ujung gagang sapu itu masih ada paku panjangnya, paku itu menancap dikepala Amelia mengenai otak Kata Dokter! Mama belum sadar juga! Kebangetan Mama!" Amelia menjerit-jerit menceritakan kejadian malam itu, Papahnya Amelia melotot ke Bibi.

Amelia masih memelukku.

"Murni, pergilah, ini Amelia beri uang, maafkan Mamakku ya Murni?" aku hanya mampu memandang Amelia dengan haru.

"Nenek, kenapa wajah Murni penuh luka cakaran kuku, nek? Nenek juga ternyata jahat sekali!, saya malu Nek? Terus Murni ini sebetulnya anaknya siapa Nek?! Kok selalu disiksa keluarga kita? Amelia tidak tahu Murni ini anak siapa? Dimana orang tuanya?" Amelia terus marah, tidak ada yang menjawabnya.

"Kalau kalian, para orang tua sadar, pulangkan Murni ke Ibunya atau Bapaknya! Murni dan adiknya masih kecil, masih butuh sekolah dan butuh kasih sayang, kenapa kalian siksa terus! Pulangkan Murni dan adiknya ke bapaknya dan ibunya!"

Nenek cuma diam, Bibi juga diam ayahnya Amelia mendekatiku.

"Bangunlah, berdiri dan ajak adikmu pulang, ini uang sekedarnya, maafkan Bapak ya?" Aku mengangguk.

Ku gandeng adikku berjalan pulang, perih terasa mukaku, Marni juga berjalan dengan kaki yang sakit, aku berjalan dikegelapan malam, rumahku lumayan jauh dari rumah Nenek, tapi hatiku tenang, aku masih mujur Amelia datang.

Nasi dari Ibu Madi entah dimana, kubuka tanganku dibawah sinar lampu warung nasi, ada lima lembar uang merah ditanganku, yang tiga dari Papanya Amelia, yang dua dari Amelia.

Aku merasa takut dengan uang sebanyak itu, belum pernah aku melihat, uang sebanyak ini.

Perlahan ku ambil satu lembar, dan aku membeli nasi dengan lauk ayam goreng, ayam goreng belum pernah aku makan.

Emak (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang