Isobel menyeimbangkan tubuhnya dengan menempelkan tangannya di dinding ketika ia berjalan kembali ke koridor. Kedua kakinya terasa lemas.
Kehilangan suami dan anak pasti sangat sulit.
Ia ingat terbangun dari pertarungan itu dengan sakit kepala dan jantung yang berdetak kencang sambil memandangi ibunya. Kau aman sekarang, sayang. Kita akan baik-baik saja. Ia percaya itu, tapi dengan cara yang salah.
Ia menemukan ibunya di dapur, wajahnya penuh dengan air mata.
"Bu."
Kening Maggie berkerut, ia tidak melihat ke arah anaknya.
"Bu, ayo bicara."
Tidak ada jawaban. Isobel duduk di depan ibunya. "Ibu memberitau semua orang bahwa aku sudah meninggal? Aku tidak sadarkan diri dan ibu bilang aku meninggal." Ia merasakan adanya sesuatu di tenggorokannya yang membuatnya sulit bicara. "Dan itu kenapa kita harus pindah rumah, dan kita tidak bisa memberitau siapapun di mana kita tinggal sekarang."
Ibunya tidak menjawab, Isobel melanjutkan. "Selama ini, aku kira untuk keselamatan kita—aku kira aku tidak boleh bertemu teman-temanku, karena aku bisa cepat pulih. Tapi mereka kira aku meninggal?" Suaranya terdengar parau. "Ginny, Neville, Luna, mereka kira aku meninggal?"
Ibunya menatapnya. "Maaf, Isobel."
"Ibu pikir ibu bisa menutupiku di sini selamanya? Ibu pikir itu bisa membantuku? Bu, aku sangat kesepian." Air mata membendung di mata ibunya; Isobel mendengus kesal. "Aku mau cari angin."
Ia membuka pintu belakang rumahnya, melangkah ke kebun. Ia berjalan mondar mandir di sana, berusaha mencerna semuanya. Semua yang terjadi setelah perang, ternyata sangat berbeda dengan apa yang ia pikirkan. Teman-temannua mengira ia meninggal selama satu tahun belakangan ini—mereka berduka dan merelakan kepergiannya. Mungkin mereka sudah melanjutkan hidup mereka; kembali ke sekolah, mulai bekerja. Dan ia ada di sini selama ini, tidak melakukan apapun.
Ia merasa tenggorokannya terganjal lagi, ia berhenti berjalan dan menggigit keras bibirnya. Ia pikir ini semua normal. Normal untuk memberi dirinya waktu untuk pulih; ia akan bertemu teman-temannya sebentar lagi. Selama setahun, ibunya sudah menjadi sahabatnya. Berapa lama lagi ibunya akan menutupi ini?
Pintu terbuka di belakangnya. Ibunya bergerak perlahan ke arahnya, menggenggam tangan Isobel. Ia tidak menghiraukan ibunya.
Maggie berkata dengan perlahan. "Isobel, kau harus mengerti. Saat pertarungan itu berakhir... situasi saat itu tidak jelas kapan semua akan kembali aman. Banyak Death Eater yang masih hidup—tidak ada yang yakin jika mereka tidak akan bangkit kembali. Dan ibu sudah kehilangan ayahmu, dan untuk beberapa saat ibu pikir ibu akan kehilanganmu juga. Dan ibu tidak bisa—" ia berhenti sejenak. "Ibu tidak bisa menghadapi itu, ibu egois, iya—tapi saat itu, keputusan ibu adalah yang terbaik yang kau butuhkan—"
"Yang aku butuhkan?" Isobel mengulang. "Bu, ibu yang mengambil hidupku."
"Kau harus pulih," Maggie menjawab. "Kau butuh waktu, dan selama berbulan-bulan kau sangat lemah, tidak ada pikiran ibu untuk mengembalikanmu ke dunia sihir, dan masih banyak Death Eater yang bebas—"
"Tapi aku bisa pulih dan kembali baik-baik saja tanpa memberitau semua orang bahwa aku sudah tidak ada!" Ia memojokkan ibunya. "Aku bisa—diam di rumah, seperti orang normal, di rumah lama kita, berhubungan dengan teman-temanku-"
"Kau tidak bisa." Maggie menggelengkan kepalanya. "Orang-orang akan mencarimu; ada orang-orang yang tidak mau kau hidup. Mereka akan mencarimu—"
"Itu paranoid, bu. Tidak ada yang mau mencariku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco, part 2
FanfictionCintaku yang terkasih, Ini dia part 2 dari dear draco by @malfoyuh yaa teman-teman. Lanjut lagi baca kisah Belly-Draco! Be happy, always!