Draco sudah menunggunya berjam-jam.
Ia duduk di depan jendelanya, mengamati jalanan mencari rambut pirang gelap itu. Menggenggam bunga salju kering di antara jemarinya, dan memikirkan kapan ia boleh merasa cemas.
Isobel terlihat tertarik, saat terakhir mereka bertemu. Terlihat sangat ingin bertemu lagi. Tapi Draco tidak tau. Mungkin ia menakuti Isobel, atau mungkin Isobel merasa ini terlalu berat untuknya. Keluarga Draco, masa lalunya, Dark Marknya. Draco tidak menyalahkan Isobel.
Saat Draco membuang teh dinginnya ke tempat cuci piring dan berbaring di tempat tidurnya, ia tetap terjaga untuk beberapa jam. Lagipula ia tidak begitu mudah tertidur, tapi malam itu, rasanya lebih sulit untuk berhenti berpikir.
Draco akhirnya memutuskan untuk membiarkan Isobel hingga keesokan harinya. Jika ia tidak mendengar apapun dari Isobel selama 24 jam, ia akan Apparate ke rumahnya.
Ketika ia tertidur, matahari sudah terlihat mengintip melalui cakrawala.
Dua jam kemudian, ia terbangun karena ketukan lembut di pintunya. Ia membenamkan wajah ke bantal, pada awalnya; mencoba menenggelamkan suara itu, tetapi beberapa menit kemudian, ketukan itu terdengar lagi. Ia duduk dan mengerutkan dahi sambil berpikir. Satu-satunya orang yang tidak menerobos masuk adalah Emily - dan ketukannya, dari yang Draco ingat, sangat tegas. Ketukan ini lembut - hampir malu.
Ia membuka pintu, Belly berdiri di sana; matanya merah dan lengannya memeluk tubuhnya sendiri.
Draco terkejut, merasa segar dengan cepat. "Kau baik-baik saja?"
"Maaf aku tidak datang semalam," katanya. Draco memikirkan alasan kenapa ia ada di sini sepagi ini. "Banyak yang ingin kukatakan."
Draco menahan pintunya. "Masuk," katanya. Ia mengamati Isobel yang sedang berjalan masuk dan melihat ke sekeliling; tiba-tiba merasa malu dengan apartemennya yang terlihat kosong. Hanya sebuah sofa hitam, meja kayu tua, dan beberapa buku yang terletak di mana-mana. "Aku tidak sempat mendekorasi," katanya.
"Aku suka," kata Isobel, tersenyum padanya. "Maaf aku datang sepagi ini. Aku dari St.Mungo's, dan mereka mengusirku." Senyumnya hilang. "Ibuku sakit."
"Maaf," ia berkata. Dengan tulus.
Belly memainkan jarinya. "Kurasa ia akan baik-baik saja," katanya, suaranya lembut. "Hanya perlu tinggal di sana untuk beberapa saat."
Draco menggigit pipi dalamnya. "Kau mau minum?" ia bertanya, memaksa dirinya untuk berhenti memandang Belly. Berapa kali ia memikirkan Belly di apartemen ini; membayangkan wajahnya di mana ia sedang berdiri sekarang.
"Tidak usah, terima kasih," katanya. "Aku berharap kita bisa ke rumahku. Daripada di sini. Menurutku lebih aman."
Draco melihat ke arahnya, tidak mengerti. "Lebih aman," ia mengulang.
Belly menatap tangannya dengan gugup. "Ayahmu menangkapku di sini semalam," ia berkata dengan suara pelan. "Ia berusaha menghapusmu dari ingatanku."
Draco merasa dunianya runtuh; merasa jantungnya berdetak di sebelah telinganya. "Ia menyerangmu?"
"Ia tidak melukaiku."
"Tapi ia menyerangmu," ia berkata lagi, mengambil tongkat sihirnya dari meja dapur dan menggenggamnya erat. Satu tangannya mengepal.
"Tidak berhasil," kata Belly. "Tapi serangan itu melukai ibuku, karena kau memakai kalungku. Itu kenapa ia di rumah sakit sekarang."
Mata Draco memandang leher Belly yang kosong, kemudian kembali kontak mata. "Lalu apa, dia mencoba Obliviate? Dia mengancam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco, part 2
FanfictionCintaku yang terkasih, Ini dia part 2 dari dear draco by @malfoyuh yaa teman-teman. Lanjut lagi baca kisah Belly-Draco! Be happy, always!