EMPAT PULUH

1K 115 4
                                    

i s o b e l

Ia tau ke mana Draco pergi, dan tau bahwa ia tidak bisa ada di sana. Tau jika Lucius dan Narcissa melihatnya di area Manor, itu akan mengarah ke bencana yang lebih besar, dan itu bukanlah risiko yang ia akan ambil. Terlihat oleh mereka bukanlah pilihan.

Saat kaki Draco dan Isobel menemukan permukaan jalan yang keras, mereka berdiri sempoyongan. Mereka jatuh bersama masih dengan kaki yang menahan satu sama lain.

Isobel melihat apa yang ada di depannya, pintu-pintu dan jendela Manor. Seluruh lampu di depan rumah mati, seluruh jendela terlihat gelap. Isobel menganggap itu adalah tanda yang baik. Saat ia menoleh ke arah Draco, ia melihat mata abu-abu Draco yang menatapnya, panik. Draco mundur sedikit bertumpu pada sikunya, menjauh dari Isobel. "Kau mengikutiku."

Jantung Isobel berdetak cepat. "Kau tidak terluka?"

Draco tidak menjawab, dan Isobel mengamati tubuh Draco di kegelapan. Darah terlihat di tempat Draco terjatuh - sama seperti yang ada di tangan dan lutut Isobel - tapi itu terlihat seperti darah Draco. Isobel menghela nafas lega. Isobel tadi yakin bahwa mungkin salah satu dari mereka akan terluka parah lagi.

"Maaf," kata Isobel. "Bisa kita kembali? Atau setidaknya menjauh dari sini, di mana pun yang lebih aman -"

Alis Draco mengernyit. "Kau siapa? Apa yang terjadi?"

Isobel duduk tegak dan melihat darah yang mengintip di balik kemeja bagian siku Draco. Isobel menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Sejak mereka kenal, Isobel selalu menjadi orang yang tidak stabil, mudah marah; tidak pernah menyembunyikan rasa paniknya, selalu bicara banyak saat gugup. Di mana Draco selalu tenang - entah memang secara alami seperti itu atau tidak, Draco selalu menghadapi guncangan dengan tenang, mencari hiburan untuk menenangkan dirinya sendiri. Sekarang, Isobel sadar, ia harus menjadi pihak yang tenang. Draco membutuhkan Isobel yang tenang. Dengan tangan Isobel di pangkuannya sendiri, ia berkata, "aku mohon Apparate bersamaku ke pernikahan. Tolong, Draco."

Draco menatapnya untuk beberapa detik, lalu menggelengkan kepala dan jantung Isobel rasanya sesak. "Kita bisa cari tempat yang sepi," Isobel berkata. "Bahkan di rumah Weasley. Tidak ada yang akan mengganggu kita."

Tatapan Draco mengarah ke bintang yang menggantung di leher Isobel. "Aku tidak merasa baik-baik saja," kata Draco. "Pikiranku - ada yang salah. Dan aku tidak mau kembali ke orang-orang itu saat aku merasa seperti ini."

"Merasa seperti apa?"

Draco menggigit pipi bagian dalamnya, lalu berkata, "Pikiranku rasanya tidak. . . Utuh. Rasanya ada yang salah. Aku menceritakan ini pada orang tuaku dan mereka bilang ini bukan apa-apa, tapi mereka salah." Draco menggelengkan kepala, masih menatap kalung itu. "Rasanya ada yang hilang."

"Seperti buram," Isobel melanjutkan. "Seperti beberapa bagian dari pikiranmu - dari ingatanmu - terlihat sangat jelas, tapi beberapa lainnya sama sekali tidak."

Pandangan Draco akhirnya mendarat di mata Isobel. "Iya. Seperti buram. Dan aku juga -" Draco mendorong ujung sepatunya ke dalam krikil - "Aku sadar Blaise dan Astoria tidak pernah benar-benar berdua. Menurutku bagus untuk mereka berbicara, tanpa aku di sana." Draco membersihkan lututnya, dan Issobel melihat telapak tangan Draco yang juga terluka karena krikil. "Astoria adalah wanita yang seharusnya menikah denganku," kata Draco. "Aku lupa aku sudah memberitaumu namanya atau belum."

"Sudah."

"Oh iya," kata Draco. "Aku berani sumpah tidak biasanya aku bercerita pada orang asing seperti itu."

Tenggorokan Isobel terasa sangat kering. "Menurutku juga bagus mereka membicarakan semuanya," kata Isobel. "Menurutku bagus untuk kalian semua."

"Jadi kita tidak bisa kembali ke pernikahan itu." Mata mereka masih bertatapan di cahaya yang redup. "Tapi kita bisa pergi ke tempat lain jika kau mau."

Teruntuk Draco, part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang