d r a c o
Kamar tidur Draco berubah. Bintang-bintang bersinar dari langit-langit, lemari, dinding; bercahaya hijau dan redup.
Bayangan Belly; rambut ikal menutupi sisi kiri wajahnya. Menanti reaksi Draco.
Draco sudah menghabiskan berbulan-bulan panjang berbaring di kamar ini, merasa kosong. Tidak ingin melakukan apapun atau pergi kemanapun, tidak peduli tentang apapun atau siapapun. Menatap dinding kosong dan hanya melihat warna abu-abu.
Memiliki Belly di sini, bersamanya, membuatnya merasa mendapatkan tenaga lagi. Seakan ia bisa menghadapi kehidupan ini, lagi. Bahkan mungkin bisa menikmatinya.
Dan nafasnya terasa sesak; beribu-ribu kata terhenti di ujung lidahnya, karena ia tidak tau bagaimana cara untuk mengekspresikan rasa tidak percayanya akan kehadiran Belly di sini, di depannya; dan mereka baru saja menempelkan bintang-bintang plastik di dinding Draco bersama. . . itu menakjubkan. Dia menakjubkan.
Belly mengambil tongkat sihir dari celana di bagian pinggangnya dan mengayunkannya pada bintang-bintang itu. Dengan bersamaan, mereka bersinar lebih terang, kamar itu mulai terang, dan sekarang Draco bisa melihat wajah Belly dengan jelas, sedikit berbayang kehijauan; mata gelap Belly berkedip saat menatapnya. "Apa ini lebih baik?"
"Iya." kata Draco, menjulurkan tangan untuk memegang tangan Belly. "Terima kasih. Ini lebih baik."
Kemudian jari-jari Belly menyentuh jari-jari Draco lagi; sentuhan tipis, sedikit sentuhan pada kulitnya. Sentuhan yang sudah Draco rasakan beribu-ribu kali sebelumnya, tapi tetap cukup untuk membuat sarafnya terkejut. "Terima kasih," Draco berkata lagi, suaranya rendah.
Draco melangkah lebih dekat. Mendengar Belly menarik nafas yang bergetar, tapi ia juga melangkah lebih dekat, dan pandangan mata Belly menurun ke bibir Draco dan ia tau - Draco tau bahwa dunia ini tidak mau mereka tetap bersama dan keadaan akan sangat kacau jika mereka tetap melakukannya, tapi yang Draco lihat hanyalah dia; yang Draco rasakan hanyalah jari-jari Belly yang menggenggam tangannya -
Belly melangkah lebih dekat. Kemudian pintu depan Draco terbuka lebar.
Draco mendorong Belly menjauh, tidak terlihat, ke pojok di dekat bagian kepala tempat tidurnya. Kemudian membuka pintu kamar tidurnya.
Dadanya terasa sesak dengan amarah saat ia melihat sosok Astoria berjalan masuk.
"Astoria," kata Draco, dengan kesal. Di sudut matanya, ia melihat Belly melangkah mendekat. Ia menggelengkan kepala, berusaha untuk tidak memperlihatkan pergerakan apapun pada Astoria tapi cukup untuk Belly lihat.
"Draco," Astoria menjawab dengan nada angkuh. "Aku tau kita akan bertemu di hari Natal, tapi aku ingin meluruskannya sekarang." Ia menyisir rambut gelapnya ke belakang bahunya. "Tanpa keluarga kita."
Draco berkedip. "Meluruskan apa?"
Astoria menatapnya. "Semuanya," ia berkata, dengan kesal. "Kekacauan ini. Aku tidak bisa fokus dengan hal lain, sejak argumen kita di bar."
"Aku - sialan." Draco menutup matanya, kepalanya berputar. Ia tau ia harus menjelaskan beberapa hal pada Astoria, tapi Belly berdiri hanya beberapa meter darinya - beberapa meter dari Astoria, dan yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara mengusir Astoria dari apartemen ini dan dari mereka.
Draco membuka matanya. "Sekarang tanggal berapa?"
"22," kata Astoria. "Keluargaku akan mengunjungi rumahmu untuk makan malam Natal hari Sabtu. Astaga, Draco, kau harus meluruskan -"
"Kita tunggu saja sampai Natal," kata Draco. "Oke, Astoria? Keluarga kita akan membantu kita meluruskannya."
"Mereka bukan dokter kita," kata Astoria. Ia mengambil satu langkah mendekati Draco; berhenti di sofa. Draco bersandar di daun pintu dan mengamati Astoria. Berharap ia tidak akan mendekat lagi. "Kita ini sudah dewasa, Draco," ia berkata. "Kita harus meluruskan ini sendiri. Mereka sudah meluruskan segala hal lain dari pernikahan ini untuk kita; kita harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco, part 2
FanfictionCintaku yang terkasih, Ini dia part 2 dari dear draco by @malfoyuh yaa teman-teman. Lanjut lagi baca kisah Belly-Draco! Be happy, always!