DUA PULUH DELAPAN

758 125 18
                                    

GUYS, CHAPTER INI PANJANG DAN SERU BANGET! JANGAN SKIP! CHAPTER INI NGEJAWAB BANYAK PERTANYAAN DUH MAU NANGIS

-

i s o b e l

Ginny mengayunkan tongkat sihir dengan mengucap Alohamora di pintu depan gedung dan meninggalkan Isobel di lobby. Isobel perlahan berjalan menaikki tangga, beban hari ini terasa berat di hatinya.

Saat ia tiba di apartemen Draco, ia sudah dalam keadaan menangis.

Beban selama lima hari yang terisi dengan emosi yang tebendung; akhirnya mengambil alih dan pecah, dan ia tidak bisa lagi mendorongnya. Tidak bisa, bahkan untuk satu menit pun, berpura-pura bahwa ia tidak sedang berusaha bernafas di dunia yang seakan sangat bertekad untuk menenggelamkannya. 

Sudah sangat lama sekarang, ia mencoba untuk tidak mempedulikan gambar buram yang menempati ingatannya tentang Draco. Berpura-pura bahwa itu bukanlah kenyataan; seakan ia sudah bisa berjalan maju dan tidak menghiraukannya dengan beranggapan bahwa ingatan itu tidak akan menjadi masa depannya. Tapi sekarang ia sudah, dalam hitungan menit, membenarkan bahwa itulah masa depan - bahwa ada beberapa tahun dari hidupnya yang tidak akan bisa ia dapatkan kembali, selamanya - dan ia sedang menghapus air mata dari pipinya dan berjalan sempoyongan ke pintu Draco, merasa sesak nafas -

d r a c o

Ia sudah melihat Isobel berjalan mendekati gedung dari jendelanya: memperhatikannya berjalan, Ginny Weasley di sampingnya. Jendela yang sama di mana Draco bisa melihatnya di pojok jalan di mana Isobel berdiri selama berminggu-minggu, curiga dan tidak percaya; mengamati Draco dan mencoba untuk mencocokkan potongan puzzle di kepalanya. Jendela di mana ada bunga salju kecil terduduk, tidak tersentuh, di daunnya. Draco masih belum memberitaunya bahwa itulah satu-satunya hal yang ia miliki dari kehidupan mereka sebelumnya.

Sebelum. . . semuanya. Sebelum ini. Apapun ini.

Belly mengetuk dan mendorong pintu secara bersamaan. Draco menoleh, dan menyadari bahwa Belly sedang menangis. Ia mengamati wajahnya yang ternodai oleh air mata, dan dengan hitungan detik berada di sampingnya; memeluknya erat di dadanya.

"Aku tidak -" kata Isobel, menempelkan kening ke dada Draco dan mengeluarkan isak tangis - "Aku tidak bisa -"

Draco memeluknya lebih erat, menyelipkan jemarinya di rambut Isobel. Berpikir apakah Isobel bisa merasakan jantungnya, berdetak di dadanya. Sangat ingin tau sebab kesedihannya, siapa yang menyebabkan ini; tapi memaksa diri untuk tetap diam.

Belly memeluknya kembali, tangannya memeluk bagian tengah tubuh Draco. "Aku minta maaf," katanya, suaranya terdengar terpendam karena sweater Draco.

"Diam," Draco bergumam.

Draco menurunkan kedua tangannya ke belakang paha Isobel, mengangkatnya, dan membawanya ke sofa. Menjatuhkan diri, bersama Isobel.

"Maaf," Isobel mengulang, memindahkan rambut dari wajahnya. "Maaf - aku menangis lagi - hanya muak -" Ia berhenti sejenak; pipi merah, mata bengkak - kemudian mengangkat satu tangan dan menggambar garis dengan jarinya di sepanjang rahang Draco. Dengan air mata, bibirnya terangkat menjadi sebuah senyum kecil. "Draco, kau terlihat marah."

Draco tidak bisa tertawa. "Aku hanya ingin tau apa ada orang yang harus kubunuh."

"Tidak, tidak ada." Isobel memandangnya, dan alis Isobel mengernyit, dan air mata terbendung lagi seiring ia terisak, "Aku tidak pantas untukmu."

Draco bisa tetawa sekarang, di perkataan itu. Draco tidak bisa menahannya. Betapa konyolnya untuk Isobel mengatakan ia tidak pantas untuknya.

Draco menatapnya: mata gelapnya, terlihat merah dari tangisnya; air mata yang terperangkap di antara bulu matanya; pipinya yang basah. Bagaimana ia terduduk berhadapan dengan Draco, kakinya terlipat. Betapa gilanya, pikir Draco, bahwa ia sudah cukup beruntung untuk mendapatkan Isobel kembali padanya, untuk memeluknya, dan Isobel berpikir ia tidak pantas.

Teruntuk Draco, part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang