DUA PULUH TIGA

989 144 7
                                    

Mereka diselimuti oleh lapisan baju tebal. Sudah dua kali Belly bertanya padanya ke mana mereka akan pergi, tapi ia tidak memberitaunya.

Belly mengunci pintu depan, dan mereka melangkah keluar ke udara dingin. Saat ia mengambil tangan Belly, ia melihat ekspresi wajah khawatirnya. Beberapa detik Belly terlihat khawatir saat ia kembali melirik ke rumahnya; kemudian perhatian Belly kembali padanya.

Saat mereka Apparate, ia memeluk Belly dengan erat di dadanya. Ia takut untuk melepaskannya, takut terpisah; takut Belly akan lepas dari pelukannya menuju ruang putaran proses Apparate.

Pikirannya yang penuh ketakutan terlihat sangat tidak rasional, ia tau itu. Tapi ia masih belum terbiasa akan kehadiran Belly. Dengan seluruh nafasnya, ia takut akan kehilangan Belly lagi.

Kaki mereka menemukan permukaan keras, dan ia mengangkat satu tangan untuk menutup mata Belly. Ia berbisik ditelinganya. "Kau belum boleh melihat."

Mereka berdiri di atas bukit pasir, menghadap ke sebuah teluk kecil. Ia memutar tubuh Belly ke ujung bukit, di mana mereka bisa melihat seluruh pantai.

Angin meniup rambutnya dan udara yang bernuansa asin mengisi hidungnya. Ia menatap Belly; melihat sebuah senyuman tergambar di wajahnya, tanpa ragu merasakan tiupan angin yang sama juga. Ia menurunkan tangannya. "Kau sudah menduga tempat ini?"

Belly menghela nafas dengan senand seiring ia mengamati sekeliling pantai putih dan laut gelap; awan kelabu di atas mereka. Belly menatapnya. "Mungkin aku lebih mengenalmu lebih dari yang kau tau."

"Kejutan gagal, ya." Balasnya.

Tapi senyum Belly semakin lebar. "Aku cinta pantai. Kita pernah ke sini sebelumnya?"

Ia menggeleng. "Kita tidak pernah ke mana-mana kecuali sekolah, rumahku atau rumahmu."

Belly mengangguk, terlihat puas dengan informasi ini. Senang untuk berada di posisi yang setara. "Tapi kau pernah ke sini sebelumnya?"

Ia mengangkat bahu. "Satu atau dua kali."

Belly mengamatinya untuk beberapa saat, kemudian memeluk tubuhnya sendiri dengan mantelnya dan menghadap ke arah yang berlawanan dari tiupan angin. "Indah sekali."

Teluk itu berada dalam jarak tidak lebih dari satu mil. Tersembunyi dari bagian yang lapang; satu sisi tertutup oleh bukit pasir dan satu sisi dihadang oleh tebing curam. Ketika ia menemukannya secara kebetulan pada musim panas setelah pertarungan, matahari menyerang terik ke pipinya dan pasir terasa sangat panas untuk disentuh. Sekarang, udara terasa seperti es dan langit terlihat abu-abu gelap, tapi itu tetap terlihat sangat indah.

Yang paling ia suka tentang pantai ini adalah kapanpun ia datang, tidak pernah ada orang lain yang terlihat.

Ia menatap Belly saat ia sedang memandangi kaki langit, rambutnya berterbangan ke belakang; dagunya terangkat. Teringat, ia pernah memandangnya persis seperti ini, di atas air mancur Manor. Berpikir suatu hari ia bisa memberitaunya tentang segala pengalaman mengerikan yang terkumpul dalam dirinya, setajam pisau; bagaimana Dumbledore dan Voldemort dan para Death Eater sering memasuki mimpi buruknya seperti monster. Tapu sebelum ia bisa memberitau itu semua, Belly menjadi salah satu dari mereka. Pernah, di hari pertarungan, menjadi seseorang dengan wajah yang menghantuinya siang dan malam.

Belly pernah lenyap dari kehidupannya sebelum ia bisa membawanya ke tempat seperti ini. Tidak sebagaimana ia membayangkannya; kehadiran Belly yang tidak pasti, kemungkinan untuk kehilangannya kapanpun. Tapi tetap, pikirnya, rasanya cukup baik.

"Menurutmu airnya sedingin apa ya?"

Draco berkedip tidak yakin. "Kita datang ke sini bukan untuk berenang."

Teruntuk Draco, part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang