Sudah lama Isobel ingin pergi ke London, tapi rasanya terlalu jauh.
Ia ingin melihat Trafalgar Square, Covent Garden, Hyde Park, dan Buckingham Palace, karena terakhir kali ia melihat tempat-tempat penting itu, ia bersama ayahnya. Bersama mereka menelusuri tempat penting itu, sangat indah namun asing; tempat-tempat itu terlihat sangat berarti bagi para muggle, tapi seakan juga terlihat tidak penting. Untuk itu, lebih menarik saat menyaksikan keramaian di sekitar patung-patung, keamanan kerajaan, dan kotak telepon; menggenggam kamera digitalnya.
Tapi kantor pos di Diagon Alley lebih penting sekarang. Tempat-tempat itu bisa menunggu.
Isobel menggenggam surat di kedua tangannya. Di tangan kanannya ditujukan untuk Ginny; tulisan berantakan yang tergesa-gesa yang ia habiskan cukup banyak waktu untuk merangkai kata-katanya. Ia sadar bahwa menjelaskan lewat surat tidak akan terlalu mengejutkan dibandingkan ia muncul di depan pintu The Burrow; ia bahkan tidak tau apakah Ginny masih tinggal di The Burrow; tidak tau harus mulai darimana. Setelah beberapa coret-coretan, Isobel memutuskan untuk menulis alamtnya, dan meminta Ginny untuk berkunjung secepatnya.
Surat di tangan kirinya—yah.
Di suatu titik antara membaca dan membaca ulang, ia dengan tidak sengaja mempelajari surat Draco, kata demi kata. Seiring ia berjalan melalui bebatuan Diagon Alley; kepala menunduk dan tudung jaketnya diangkat, ia berkata lagi pada dirinya sendiri. Aku akan memberi matahari, bulan, bintang. Aku akan memberi segalanya untuk memilikimu lagi.
Diagon Alley terlihat sibuk. Isobel pergi ke sana dengan terburu-buru, tidak memikirkan tentang jam sibuk. Keramaian menyusuri jalanan abu-abu yang sempit. Isobel jalan berkelok-kelok di antara mereka, berusaha mencapai kantor pos secepatnya dan sekeras mungkin tidak menarik perhatian, tapi orang-orang tanpa sengaja memojokkannya. Nafasnya serasa lebih cepat dan jantungnya berdetak lebih kencang di dalam dadanya, tapi ia mendorong, berusaha untuk tidak dikenali.
Ia selalu tertarik pada Draco Malfoy, ia tidak bisa menyangkal itu. Merasa penasaran untuk melihat apa yang kehidupan ini perbuat pada jiwa itu; untuk mengetahui kenapa ia bersikap seperti itu. Untuk menemukan kelembutan di kesombongannya. Isobel tau sikap Draco yang seperti itu hanya karena ia dilahirkan di dunia yang seperti itu juga. Ia adalah produk yang terluka di keluarga yang juga terluka, dan anak laki-laki itu juga tertarik dengan gadis itu.
Semua bisa dijelaskan. Bisa dijelaskan kenapa Maggie sangat protektif pada anaknya, kenapa ia berkata Isobel lebih dalam bahaya dibandingkan teman-temannya. Kenapa Maggie mengurungnya.
Ia selalu tertarik pada Draco Malfoy, benar. Tapi ia tidak bisa mengerti, tidak bisa membayangkan, di titik mana ketertarikan bisa berubah menjadi cinta.
Dada Isobel terasa sesak dan nafasnya dangkal. Ia ada di dekat gang kecil yang mengarah ke Diagon Alley, ia memasukinya, menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia menutup matanya, menarik nafas dalam, dan memberitau dirinya apa yang ia tau.
Beberapa tahun terakhirnya di Hogwarts sangat buram. Ia tau ia telah melalui itu semua; ia ada di sana selama tahun kelima dan ketujuh, dan ia berada di rumah selama tahun keenam, tapi hanya ingat potongan-potongan berbayang.
Ia ingat Draco Malfoy, tapi rasanya ia hanya mengenalnya sebagai orang asing. Siswa Slytherin, lahir di keluarga yang setia pada Voldemort selama bertahun-tahun, sampai mereka berhenti begitu saja. Hingga mereka meninggalkan kegelapan, dan memilih keluarga. Ia ingat begitu penuh kebenciannya laki-laki itu di tahun-tahun pertamanya di sekolah, dan bagaimana itu menarik perhatian Isobel. Tapi ia tidak yakin mereka pernah berbincang, satu lawan satu.
Yang ia tau hanyalah ada sebuah surat di tangannya, mengutarakan perasaan cinta Draco padanya. Satu carik kertas, yang bisa mengubah segalanya.
Ia ingat serangan yang ia dapat dari pertarungan Hogwarts, dan dunianya menjadi gelap.
Ia ingat terbangun ke kehidupan yang berubah. Kehidupan yang baru, di mana ia tidak mengenali siapapun, dan siapapun tidak ada yang mengenalnya.
Ia ingat instruksi tegas ibunya untuk terus mengenakan kalung bintang itu kapanpun, karena ibunya telah menyihir kalung tersebut, dan itulah yang menyelamatkannya. Ibunya menyelamatkan nyawanya, dan Isobel bersyukur atas itu. Tapi ia juga mencuri itu dari ibunya.
Namaku Isobel Young. Aku di sini. Aku masih hidup.
Ia mengambil nafas lagi, dan membuka matanya. Jalan masih ramai, tapi kantor pos sudah terlihat di ujung jalan, menunggunya. Ia keluar dari gang itu untuk bergerak lagi—
Segera kembali ke gang, bersandar tegak pada dinding belakangnya. Karena berjalan mendekatinya, berjalan bersama di tengah jalan Diagon Alley, adalah ketiga anggota keluarga Malfoy.
Draco berjalan di antara kedua orang tuanya, pandangan matanya tertuju pada tanah. Rambutnya turun ke tulang pipinya, dan wajahnya terlihat cemberut. Wajahnya, sangat pucat. Seperti hantu.
Dan Isobel berpikir, sejenak—akan lebih mudah. Untuk keluar ke depan Malfoy; bertanya padanya apa itu semua benar. Jika ia muncul di hadapan mereka sekarang, menurunkan jaketnya—apa yang akan Draco katakan? Bagaimana reaksinya?
Pandangan Narcissa melewati Isobel seakan ia hanyalah dinding, tapi pandangan Lucius bertemu dengannya. Untuk beberapa detik, ia bimbang, pandangan mereka terkunci...Tapi Lucius menariknya, dan melanjutkan perjalanan bersama keluarganya.
Kemudian mereka melaluinya, dan kesempatan Isobel hilang.
"Berani-beraninya," terdengar suara dari sebelah Isobel. Ia terkejur, dan menoleh: seorang wanita berdiri di depan intu Flourish dan Blotts, dan berkata padanya. "Muncul di sini," kata wanita itu. "Setelah semua yang mereka lakukan."
Isobel tidak menyadari keberadaan wanita itu. Tanpa berlama-lama, ia tersenyum kecil, dan pergi menjauh; jantung berdetak.
Ia tidak memutuskan untuk mengikuti Mlafoy, tapi kakinya bergerak begitu saja.
Ia berjalan di belakang mereka di sepanjang Diagon Alley, menuju titik ia datang tadi. Kapanpun mereka berhenti berjalan, ia juga berhenti; pura-pura melihat-lihat barang di depan toko. Kepala menunduk, tudung jaket naik.
Mereka berpisah di luar toko The Three Broomsticks, dengan sedikit muram. Draco tidak melihat ke orang tuanya sebelum berjalan menyusuri jalanan London yang ramai. Isobel berjalan pelan di belakangnya, menggunakan halte bis dan kotak pos sebagai tempat persembunyian selagi ia berjalan. Ia bergerak dengan cepat dan sunyi; pandangannya terkunci pada kepala berambut pirang yang berlalu lalang di depannya di tengah keramaian.
Setelah sepuluh atau mungkin 60 menit, dengan matahari yang mulai terbenam dan langit mulai menggelap, Draco berhenti di blok apartemen berbatu bata. Isobel mengawasinya dari seberang jalan seiring Draco mengeluarkan sebuah kunci dari kantung di mantelnya, membuka pintu depan, dan menghilang ke dalam.
Ia berdiri di sana, terengah. Ia bisa membuka pintu itu dengan Alohamora. Bisa.
Beranilah, Gryffindor, ia berkata pada dirinya sendiri. Tapi kakinya tidak bergerak.
Ia terlihat berbeda. Terlihat jauh lebih tua, sedih, dan lebih lelah dibandingkan Draco yang ia ingat. Draco yang ia ingat—yang ia tidak suka—seperti hantu dari laki-laki yang ia lihat sekarang.
Walaupun laki-laki ini pernah mencintainya, ia sadar; ia tidak mengenalnya. Ia tidak tau apapun tentangnya, dan itu menakutkan.
Maka, ia menjauh. Ia menemukan gang kosong, dan apparate kembali ke Diagon Alley, di mana ia bisa kembali pulang. Mungkin besok, ia akan menemui laki-laki itu. Atau sehari setelah itu. Mungkin.
Tapi saat ini, ia tidak bisa menemukan keberanian itu.
---
NOTE:
THE BURROW: The Burrow adalah rumah keluarga dari keluarga Weasley, yang terletak di pinggiran Ottery St Catchpole di Devon, Inggris.
Maaf banget telat, aku lupa authornya bilang mau update hari ini omg :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco, part 2
FanfictionCintaku yang terkasih, Ini dia part 2 dari dear draco by @malfoyuh yaa teman-teman. Lanjut lagi baca kisah Belly-Draco! Be happy, always!