EMPAT BELAS

5.4K 891 72
                                    

Ganesha panas dingin. Bocah itu tidak berhenti mondar-mandir di kamar. Pandangannya melompat-lompat dari ujung kamar ke ujung yang lain, sama sekali bukan gelagat yang wajar ditunjukkan bocah umur 9 tahun! Padahal giginya sudah tidak sakit, malam hari ia tak pernah lupa menggosok gigi, perutnya juga diam saja, tidak berteriak minta buang hajat.

Ternyata oh ternyata, bocah itu tidak sakit. Ganesha hanya diliputi rasa gugup yang teramat sangat. Besok sore, ia akan ujian naik sabuk hitam. Dan kalau dia tidak lulus, dia akan ditarik dari lomba O2SN yang akan dilaksanakan 3 bulan lagi.

Bukan main, Bunda sudah menjanjikan mainan baru kalau Ganesha berhasil pulang membawa medali. Bocah itu juga sudah cukup besar untuk tahu bahwa uang hadiah lomba bisa dipakai Bunda untuk membantu biaya sekolah.

Ah, tapi ujian sabuk hitam! Ia satu-satunya yang ujian dari kelas 4. Kakak-kakak kelas 5 dan kelas 6 selalu bilang Ganesha tidak mungkin lulus pada percobaan pertama. Fauzan juga tidak mau lagi menemaninya berlatih dan acap kali mengeluh karena merasa Ganesha terlalu cepat bisa. Sebagai anggota paling muda, Ganesha sering merasa kesepian. Latihan beberapa bulan terakhir lebih banyak serius dan sedikit bercanda. Ia kadang rindu masa-masa awal ia belajar karate bersama teman-teman seangkatannya.

Tapi Ganesha tidak mau mengecewakan Bunda. Ia ingin bisa membantu Bunda membayar sekolahnya dan kebutuhan berobat Ayah.

Bocah itu akhirnya berhenti mondar-mandir. Ia memutuskan untuk duduk bersandar di kursi belajar, mengintip langit hitam tanpa bulan. Ganesha memeluk kedua kakinya. Tidur tidak pernah menyenangkan. Terkadang tidur membawanya kembali ke mimpi buruk. Beberapa kali ia bangun berteriak dan Bunda selalu datang. Namun sejak naik ke kelas 3, ia tidak lagi ingin Bunda berlari ke kamarnya. Terkadang Ganesha pilih menangis, terkadang ia menuliskan mimpinya di buku kecil, dan di hari-hari penuh keberuntungan, ketika Ganesha terlalu lelah sepulang latihan atau bermain dengan teman--ia diberkati dengan tidur tenang tanpa mimpi.

Sudah malam. Bocah itu tidak suka tidur, tapi tanpa tidur ia tidak bisa ke sekolah. Sensei selalu memarahinya setiap ia berlatih dalam kondisi mengantuk. Bunda hampir selalu mendapati kuenya hilang atau tidak disertai uang yang sesuai dengan penjualan. Dan Ganesha sendiri, biasanya akan tertidur di pelajaran yang membosankan seperti Kewarganegaraan atau Budi Pekerti.

Ia harus tidur. Pun tidur datang padanya setelah menguap tanpa henti.

———————————

Sepulang sekolah, kadang Ganesha membawa tiga tas. Satu di punggung, dua dijinjing di sebelah tangan. Namun satu tas berisi jualan Bunda lebih sering ia lipat, masuk ke dalam tas yang paling besar karena kue sudah habis terjual. Sayangnya bukan hari ini. Masih ada sisa 5 biskuit. Bocah itu berharap Sensei atau teman karate akan membeli sisa dagangannya.

"Ojan!" panggil Ganesha.

"Opo?" sahut Fauzan dari seberang lapangan.

"Yo ganti klambi." (Ayo ganti baju)

"Yo, yo." (Iya iya)

Mereka memasuki kamar mandi laki-laki di lantai dasar. Ganesha meletakkan barangnya dengan hati-hati, menghindari bagian yang basah.

"Kon bakal ujian ta dina ki?" (Kamu mau ujian ya hari ini?)

"He e."

"Oala. Yo semoga iso, Nes." (Oalah. Ya semoga bisa, Nes)

"Lho kon ora nesu?" (Loh kamu nggak marah?)

"Ya opo rek. Nesu karo opo?" (Hah marah sama apa?)

"Karo aku." (Sama aku)

Fauzan tertawa. "Eladala, dikira aku nesu terus wegah latian karo kon?" (Ealah, dikira aku marah terus nggak mau latihan sama kamu?)

Ganesha mengangguk perlahan. Ia masih mengenakan seragam sekolah, perhatiannya teralihkan sepenuhnya dari agenda awal berganti baju.

"Ndak yo. Aku ki males soale kon jago tenan. Bikin aku isin." (Nggak lah. Aku tuh males soalnya kamu jago banget. Bikin aku malu)

". . . Maaf, Jan."

Fauzan tertawa lagi. "Wes, gapapa, Nes. Aku ikut seneng kok. Tapi ya kamu latihan sama yang jago aja. Aku latihan sama yang lain. Jangan lupa kalau menang traktir aku."

"Siap, Komandan!" Ganesha ikut tersenyum sumringah. Bocah itu senang sekali. Ternyata, Fauzan selama ini tidak marah.

"Kon ora dadi ganti klambi ta?"

"Oh, iya!" Ganesha menepuk dahinya. Ia baru sadar ternyata Fauzan sudah selesai. Cepat-cepatlah bocah itu mengganti seragam hari Jumatnya dengan set baju karate. Lengkap dengan sabuk cokelat di pinggangnya.

"Ayo!"

Mereka berjalan beriringan kemudian merapikan tas di pinggir lorong. Terbesit di kepala Ganesha untuk menjajakan 5 biskuitnya yang belum habis, tapi rasa-rasanya ia terlalu gugup. Bocah itu merasakan dadanya berdegup-degup seolah sedang berlari.

"Adek-adek! Ayo ke sini!" perintah Sensei dari kejauhan.

Ganesha terlonjak. Dahulu, di kelas yang lebih muda, biasanya Ganesha punya waktu untuk main bola atau bahkan pulang ke rumah sebelum jam ekstrakurikuler dimulai. Namun, karena sekarang ia sudah jadi anak besar, jam sekolahnya baru selesai pukul 3 sore. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler biasanya dimulai jam setengah 4.

"Jan! Temenin. Aku wedi tenan," rengek Ganesha kepada Fauzan.

"Eee, iso Nes iso! Kamu tuh jago."

Di dekat Sensei, sudah ada sekumpulan anak, kebanyakan anak yang lebih muda. Kakak-kakak yang akan ujian bersama Ganesha belum terlihat. Ganesha dan Fauzan berhenti dan duduk di dekat teman-teman kelas 4 SD.

"Hari ini ujian yang sabuk hitam dan I, ya. Temenmu mana, Nes?"

"Masih kelas mungkin?"

"Ooh ya wes. Latihan dulu aja. Nanti kita ujian di akhir kelas."

"Latihan?"

"Kihon sama Kata seperti minggu kemarin, Nes. Kalau sudah oke kamu Kumite minggu depan."

Mata Ganesha mendadak berbinar. "Kumitenya minggu depan?!" tanya bocah itu tidak percaya.

Kumite merupakan perkelahian satu lawan satu yang penting di bidang karate. Meski sebelumnya pernah berlatih kumite, ini pertama kalinya Ganesha harus serius bertanding. Dengan kakak yang lebih besar pula!

"Iya e. Waktunya ndak cukup kalau hari ini."

"Siap, Sensei!" sahut Ganesha semangat.

Kemudian Sensei mengalihkan perhatianya ke teman-teman yang lain. Ganesha amat lega, dia jadi ingin menghabiskan 5 biskuit dagangannya yang belum laku.

"Ssh, Ganes!" bisik Fauzan.

"Apa?" balasnya ikut berbisik.

"Kamu mau latihan kumite sama aku?"

Bocah itu terkesiap. Harinya tidak bisa lebih menyenangkan lagi!

"Mau mau! Latihan di mana?"

"Ooo ya di rumahmu? Atau di rumahku?" tawar Fauzan lagi.

"Oke!" Ganesha tersenyum lebar, menampakkan gigi depannya yang bolong.

Akhir-akhir ini, Ganesha tidak berani mengajak Fauzan main ke rumah karena takut temannya itu marah. Kalau bertemu di lapangan, mereka bermain bola tapi tidak mengobrol. Ketika jadwal mengaji, Ganesha berusaha menghindar dengan berbicara ke teman yang lain. Ketika sore, ia tidak lagi mengajak Fauzan main sepeda. Rasanya tidak enak. Tapi sekarang, Ganesha akhirnya mengerti kalau Fauzan tidak marah! Bocah itu baru tahu, ternyata ada lagi hal yang lebih menyenangkan dari makan kue dan mendapat mainan baru.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang