Sejak kecil, Ganesha mampu mendeteksi perubahan pada wajah Bunda. Kalau marah, alisnya bertaut, matanya memicing, dan bibirnya tidak tersenyum. Kalau sedih, ada air mata yang jatuh dari mata Bunda. Kalau senang, biasanya Ganesha akan ikut senang, tertawa dan memeluk Bunda.
Ia juga ingat, Ayah dulu sering tersenyum, sayangnya sejak kecelakaan jarang lagi ia lihat tersenyum.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai bisa mengenali ekspresi yang muncul pada wajah mereka di sekitarnya. Tante Vina suka marah. Guru-guru banyak tersenyum, meski ada pula yang menyeramkan. Fauzan sering tertawa, tapi kadang menangis sambil berteriak. Teman-teman yang lain tergantung kondisi, tapi Ganesha tahu satu anak perempuan yang hobi menangis. Mereka sekelas saat tingkat dua dulu. Ganesha tidak suka dia, karena perempuan itu pernah mematahkan pensil warnanya. Untungnya mereka tidak sekelas lagi.
Beberapa ekspresi kerap Ganesha lihat, namun gagal pahami. Biasanya muncul kalau ia, Bunda dan Ayah pergi keluar. Pernah ia tanya Bunda, mengapa orang-orang sering memandangi Ayah dari jauh. Kata Bunda, mungkin karena Ayah berbeda. Tapi ia masih bingung, memangnya kenapa kalau berbeda? Kata Bunda, kalau ada orang dari negara lain yang main ke Indonesia juga biasanya diliatin orang, karena kelihatan berbeda. Tapi kan, Ayah orang Indonesia?
Akhirnya, Ganesha tanya, apa Ayah berbeda karena warna kulitnya? Ada banyak bekas luka bakar di kulit Ayah. Wajahnya tidak lagi seperti gambar manusia di buku sekolah. Matanya juga tidak seperti mata orang lain. Tidak pernah Ganesha lihat mengedip.
Kata Bunda iya. Jawaban itu melegakan Ganesha. Ternyata, karena kulit dan wajah Ayah berbeda. Meski tidak nyaman diperhatikan banyak orang, Ganesha sudah tahu jawabannya.
Sayang semua berubah saat pertengahan kelas tiga SD.
Nama temannya itu Shalsa. Rambutnya panjang dengan warna yang tidak terlalu hitam. Mereka duduk bersebelahan dan Shalsa beberapa kali meminjamkan krayon padanya. Suatu hari, ia ingat Shalsa bertanya.
"Bapakmu tuh kenapa to?"
"Lho kamu pernah lihat ayahku?"
"Waktu itu, habis ke museum, kan bapakmu ikut jemput."
"Ooh. Iya. Ayah kecelakaan pas aku kelas satu."
"Kamu ndak malu to punya ayah kayak gitu?"
"Malu kenapa?"
"Ya... Medeni tuh lho." (Ya... nyeremin tuh lho)
Sejak saat itu, Ganesha tidak suka ketika orang memandangi Ayahnya. Ia juga tidak suka ketika teman-teman menanyakan tentang Ayah. Pun tidak suka ketika tugas disekolah mewajibkannya untuk menceritakan tentang Ayah dan pekerjaannya.
Salah seorang temannya yang laki-laki, pernah memanggilnya anak Ula. Ganesha tahu maksudnya anak ular. Mereka bilang kulit ayahnya mirip ular, tiga warna dengan banyak bercak. Hari itu akan selalu Ganesha kenang sebagai hari adu jotos, di mana ia menutup kegiatan sekolah di ruangan BK. Menulis banyak sekali kalimat "Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
::: o ::::
Benar tebakan Sensei, Ganesha memiliki bakat di bidang bela diri. Ketika Fauzan masih mengenakan sabuk kuning, Ganesha sudah menjadi Modoriobi dengan sabuk hijau menuju biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...