EMPAT

7.5K 1.7K 113
                                    

Kebiasaan lalu, tiap Ayah izin bekerja, Ganesha pasti menangis. Kadang ia memeluk paksa kaki Ayah, tak peduli meski tubuhnya terseret. Kadang ia berteriak, "Ayah nakal!" dengan kemarahan yang nyata. Kadang ia hanya bisa menangis nyaris tanpa suara, dengan volume air mata yang bisa menghidupi ikan di kolam.

Hari ini, Ganesha tidak menangis. Pun tidak berteriak. Ia terdiam mengamati Ayah merapikan tas, sudah siap dengan baju hijau loreng-loreng. 

"Sing pinter ya, Le," ucap ayahnya, mengacak-acak rambut Ganesha.

Bocah itu tidak mengangkat wajahnya. Sibuk. Mobil warna-warni di tangannya butuh isi bensin. Ketika sosok Ayah hilang dari pintu pun, Ganesha masih asyik sendiri dengan mobilnya.

Di dadanya ada rasa aneh, yang tidak pernah Bunda ajarkan namanya. Ganesha tahu yang ia rasakan bukan sedih, bukan marah juga, tapi jelas bukan senang. Ia bingung. Padahal, harusnya ia senang. Kemarin Bunda bilang Ganesha akan mendaftar ke sekolah dasar. Iming-imingnya, kalau hari ini Ganesha mau diajak main Bu Guru di sekolah baru, kue apapun yang Ganesha minta akan dibuatkan esok hari.

Kalau tidak salah, Bunda bilang tesnya jam sembilan nanti. Tidak tahu sekarang jam berapa, tapi Bunda sudah memandikan dan menyuapi Ganesha. Makanannya berupa nasi dan sayur, tanpa kue dan tanpa pesawat terbang yang menemani. Ia masih rindu pesawat. Walaupun kemarin Ayah sudah beli mainan mobil baru, balok lepas pasang yang dinamai Lego, dan beberapa buku cerita bergambar dinosaurus.

"Bunda, kalau sudah tes nanti, aku mau kue bentuk pesawat." Sebuah ide melintas di kepala Ganesha.

Bunda menghentikan kegiatan melipat baju.

"Kue pesawat itu seperti apa, Le?"

"Kue pesawat yang banyak. Ada warna biru, warna hijau, warna putih," jawab Ganesha, matanya menerawang.

Ia menunggu respon Bunda. Tapi Bunda malah datang menghampirinya, kemudian merengkuh bocah itu dengan kedua tangan.

"Kamu mau kue pesawat?" tanya Bunda.

"Iya."

"Kalau gitu nanti kita cari cetakan pesawat. Kalau Bunda belum ketemu, kamu mau kue apa?"

"Aku maunya kue pesawat."

"Oke. Kita cari sama-sama, ya. Tapi kalau belum ketemu, Ganesha nggak boleh nangis. Nanti kita cari lagi sampai ketemu. Gimana?"

Bocah itu mengangguk, poninya terayun.

"Pinter." Bunda memeluk Ganesha sekali lagi.

Perlahan, bibir Ganesha membentuk senyuman. Dari semua orang, ia paling sayang Bunda. Bunda memeluk Ganesha, membuat kue, menemani bermain, membacakan buku sebelum tidur, dan jarang memarahi. 

Ya, kecuali kalau Ganesha tidak mau tidur siang.

Atau lupa melepas sepatu di dalam rumah.

::: o :::

Ganesha tengok kanan-kiri warna hijau banyak sekali. Dedaunan di pohon, rumput di halaman, tembok di sekeliling lapangan, sampai-sampai baju kakak SD pun warna hijau. Matanya memandang takjub. Bunda tidak pernah bilang sekolah dasar sebesar ini. Jumlah kakak berseragam pun jauh lebih besar. Satu, dua, tiga, sepuluh, sebelas, seribu juta!

Kaki Ganesha bergerak sendiri. Senangnya ada tempat lari yang luas. Kalau di TK, ia harus berhati-hati supaya tidak menabrak. Apalagi kalau ada anak-anak perempuan. Sudah jalannya lambat, suka menghalangi jalan lagi.

"Le, le, ojo mlayu-mlayu!" (Nak, nak, jangan lari-lari!)

Bunda tergopoh-gopoh mengejar Ganesha. Bocah itu acuh saja. Kakinya semangat meraih kakak-kakak berbaju putih dengan garis warna-warni di pinggangnya.

"Le, kita ke Bu Guru disek!"

Begitu cukup dekat dengan kakak putih-putih, Ganesha berhenti. Bunda menghampirinya, segera menggenggam tangan bocah itu, khawatir ia akan pergi lagi.

"Kamu tuh ya ..." Suara Bunda terdengar gemas.

"Itu apa, Bun?" Jari Ganesha menunjuk ke gerombolan kakak berseragam yang tampak menari. Anehnya, mereka bukan menari sesuai lagu. Mereka justru berteriak bersama-sama.

"Itu namanya karate."

"Karate?"

"Karate itu ilmu bela diri, supaya bisa melindungi diri dari orang jahat."

"Ilmu bela diri tuh apa?"

"Mmm ... Bela diri tuh maksudnya melindungi atau menjaga diri sendiri dari orang jahat, ilmu bela diri berarti belajar bela diri."

"Oooh."

Perhatian Ganesha kembali terfokus kepada karate. Ada yang bergerak bersama, ada yang menendang-meninju-menghindar. Pokoknya, tidak ada gerakan sehebat gerakan kakak-kakak di depannya. Bocah itu jadi ingin cepat-cepat masuk sekolah dasar.

"Ayo, Le. Wes dienteni Bu Guru." (Ayo, Nak. Sudah ditunggu Bu Guru.)

Ganesha menurut, membiarkan dirinya ditarik paksa oleh Bunda, meski kepalanya masih juga menoleh ke belakang. Ternyata di dunia ini banyak hal keren dan seru. Jangan-jangan, Ninja Hattori yang ada di TV juga belajar karate, makanya selalu bisa menolong temannya.

"Ganes!"

Bocah itu celingak-celinguk, mencari sumber suara. Tak menunggu lama, tubuhnya menerima hantaman keras dari belakang, nyaris membuatnya jatuh berguling di lapangan hijau.

"Ganesha!"

"Aduh!"

"Eh Bu Lastri, maaf, Bu! Ini Fauzan kesenengan ndelok koncone."

"Fauzan! Kamu mau sekolah di sini juga?!"

"Iya!!!"

Dua pasang kaki kecil melompat riang. Orang tua mereka berjalan di belakang, mengobrol sambil mengawasi dua bocah lelaki yang terlalu aktif.

"Kamu tau karate nggak? Aku tadi lihat karate."

"Tau! Kakakku ikut karate. Sabuknya warna hijau."

"Kenapa warnanya hijau?" tanya Ganesha lagi.

"Kalau makin jago, warna sabuknya berubah. Kata Kakak yang paling jago warna hitam."

"Aku mau sabuk biru aja."

"Kamu ikut karate?"

"Nggak. Aku mau belajar karate. Nanti aku bakal lawan semua orang jahat."

"Aku juga mau lawan monster jahat!"

"Kita ikut karate aja!"

"Yuk!"

"Ayuk!"

Tanpa mereka sadari, kesepakatan sehidup semati pun terjalin di salah satu sekolah di sudut Kota Surabaya.

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang