Pernah suatu ketika, seorang pria datang ke rumah. Kumisnya menyerupai ikan lele. Tubuhnya kurus tinggi dibalut kaos hijau-cokelat loreng-loreng mirip kepunyaan ayahnya. Pria itu membawa sekarung beras dan satu tandan pisang. Ganesha tidak kenal siapa namanya, sebatas tahu bahwa pria itu teman milik ayah. Mata bulat penuh ingin tahunya mengamati mereka yang berpelukan dan bercanda tawa. Kemudian, seolah sadar ada yang mengamati, pria itu berbalik dan menghampiri Ganesha. Sambil berjongkok, ia mengacak-acak rambut bocah kecil itu dan bertanya, "Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?"
Dulu, Ganesha hanya diam. Bola matanya bergerak ke sekeliling, melemparkan pandangan ke mana saja selain ke pria asing itu. Ketika ayahnya ikut bertanya, "Le, nek gedhe pengin dadi opo?" baru bocah itu mendongak.
Ayahnya jarang mengeluarkan suara. Ketika akan pergi dinas atau ketika Ganesha bersiap naik becak, pria itu hanya berpesan, "Hati-hati ya, Le." Pun ketika ayahnya baru pulang dari tugas berbulan-bulan, ia hanya bilang, "Assalamualaikum, Ganes!"
Selain itu, perbincangan ayah-anak mereka lebih banyak didominasi monolog dari pihak Ganesha. Kalau beruntung, monolog itu akan ditimpali oleh tawa ayahnya yang membahana.
Pertanyaan pria asing itu pasti cukup penting hingga ayahnya ikut melayangkan pertanyaan serupa. Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang di ruang kelas. Gurunya tertawa. Dia bilang kalau jadi presiden juga harus memerintah negara, mengatur supaya masyarakatnya aman dan sejahtera. Ganesha jadi ragu, dia tidak tahu caranya memerintah negara, mana bisa ia jadi presiden.
Hari ini, dengan pertanyaan yang sama, ia berpikir lebih keras. Mau jadi apa kalau sudah besar nanti?
"Dadi polisi?" Ganesha suka main tembak-tembakan. Polisi bebas main tembak-tembakan setiap hari.
"Jadi polisi, Le?" tanya ayahnya, mata pria itu berkedut, bibirnya membentuk senyum simpul.
"Iya. Polisi."
"Jadi pilot aja, Nes! Kayak Bapakmu ini, lho." Pria asing itu merangkul ayahnya sambil tertawa.
Dahi Ganesha berkerut. Setahunya, Ayah itu tentara, bukan pilot. Tentara itu seperti polisi, kerjanya mengamankan Indonesia supaya tidak ada yang berbuat jahat. Kalau pilot, kan, kerjanya menerbangkan pesawat? Memangnya Ayah bisa menerbangkan pesawat?
Pertanyaan Ganesha tidak terjawab. Ayahnya malah mendiamkan pria asing itu, menempelkan telunjuknya ke bibir dan berkata, "Sssh! Belum tentu jadi!"
Habis itu mereka pergi, mengabaikan Ganesha yang masih bingung.
::: o :::
Ingatan Ganesha samar-samar. Dia ingat, Bunda pernah menghadiahkan kue ketika ia berani pulang-pergi ke sekolah sendiri. Turun dari becak, Bunda sudah memegang seloyang kue berwarna cokelat. Wanginya harum. Kue itu Bunda beri nama spikoe.
Kemudian, ada juga kue dengan bubuk putih tiap Ganesha mengerjakan pekerjaan rumah secara mandiri. Bunda bilang, itu putri salju. Lalu, ada juga kue yang khusus Bunda buat tiap banyak saudara main ke rumahnya. Kalau yang itu, namanya kue lebaran. Berbeda dengan kue spikoe dan putri salju, kue lebaran bentuknya macam-macam. Kebanyakan warnanya kuning, tapi kadang ada juga yang berwarna cokelat. Dari semua, Ganesha paling suka yang namanya putri salju.
Tapi kalau Bunda yang buat kue, mau namanya apapun, Ganesha pasti suka. Bahkan, kalo Ganesha bawa kue Bunda ke sekolah, pasti kuenya habis diambil teman.
Hari ini, Ganesha lihat Bunda membuat kue lagi. Biasanya dia boleh membantu. Sekadar mengambil alat atau mengaduk adonan. Namun entah mengapa, yang ini sama sekali tidak boleh ia sentuh.
"Jangan, ini kue ulang tahunmu."
"Kue ulang tahun?"
"Iya. Ganesha besok ulang tahun yang keempat. Kayak Fauzan kemarin."
Mata Ganesha membulat. Ia melompat-lompat, senang bukan main.
"Aku ulang tahun? Nanti ada balon juga kayak di tempat Fauzan?"
"Ada, dong! Kamu mau balon warna apa?"
Ganesha terdiam. Ia melirik sekitar. Dapur banyak tepung. Peralatan membuat kue Bunda menumpuk di wastafel. Buku berisi kue-kue tergeletak di meja, beberapa sisi ikut terkena bubuk putih. Krim kuning yang baunya selalu membuat Ganesha lapar ditaruh di samping buku. Ganesha ingat, Bunda bilang itu krim keju, dibuat dari keju yang dimasukkan ke dalam mesin.
Semua warnanya sama. Isi dapur Bunda kalau tidak cokelat, abu-abu, ya putih. Balon Fauzan kemarin ada yang warna cokelat dan abu-abu, Ganesha tidak mau yang sama dengan Fauzan. Dia juga tidak mau warna putih, nanti mirip hantu Casper yang ada di televisi.
Bundanya paling sering pakai baju warna merah jambu, celemeknya hari ini juga warna merah jambu. Tapi menurut ibu guru, itu warna perempuan. Kalau Ayah, biasanya pakai baju hijau loreng-loreng. Sengaja, biar mirip pepohonan di hutan, kata ayahnya.
Ganesha bukan perempuan. Dia juga tidak mau mirip dengan hutan. Di hutan banyak hewan nakal. Dia lebih suka langit. Maka, dia pun memutuskan dengan gembira, "Aku mau warna biru!"
"Oke, Sayang. Nanti Bunda carikan balon yang paling biru."
"Asik!" seru Ganesha kegirangan.
"Sudah, sana main di kamar. Tunggu Ayah pulang."
"Ayah pulang?!"
Cengiran Ganesha tidak bisa lebih lebar lagi. Matanya berbinar. Hatinya menggembung saking senangnya. Ayahnya sudah lama tidak pulang. Kerja, selalu itu jawaban Bunda. Tapi yang ini terasa lebih lama. Biasanya sekolah libur sekali ayahnya sudah pulang. Sekarang sekolah Ganesha sudah berkali-kali libur tapi ayahnya belum juga pulang.
"Iya, Ayah pulang."
"Ye, ye, Ayah pulang! Ye, ye, Ayah pulang!" teriak Ganesha, berlari meninggalkan Bunda di dapur. Bocah itu tak sabar menanti hari esok.
::: o :::
Bunda tidak bohong. Bangun tidur, Ganesha melihat balon biru di mana-mana. Ia menjerit senang, langsung melompat-lompat di kasur. Ayahnya sudah duduk di samping. Lengannya yang besar merengkuh sebuah kotak warna-warni. Tetapi Ganesha terlalu euforia dengan balon, sampai tak sadar hadiah di tangan ayahnya.
Balon-balon biru ada di langit. Di lantai. Di kasur. Beberapa pecah terinjak kaki Ganesha yang sibuk melompat. Namun ledakannya tidak membuat Ganesha berhenti. Ia terlalu gembira. Ayahnya pulang, ada balon, dan hari ini dia ulang tahun!
Bunda baru muncul beberapa saat kemudian. Ganesha berhenti melompat. Di tangan Bunda ada kue bulat besar, tinggi sampai wajah Bunda tidak terlihat, warnanya biru, di atasnya ada lilin menyala. Ganesha lari ke arah Bunda, memeluk wanita itu. Untung saja mereka berdua tidak jatuh. Padahal, kue Ganesha lebih besar dari kue Fauzan kemarin!
Kedua orang tuanya bernyanyi, terdengar sama seperti perayaan ulang tahun teman-temannya di sekolah. Tapi Ganesha tidak mengenali lagu, "Hepi besdey tu yu," seperti yang biasa ia nyanyikan. Orang tuanya malah bernyanyi, "Happy birthday Ganes."
Sesudah itu, ia diminta meniup lilin. Ayah bilang, Ganesha boleh berdoa apapun saat meniup lilin. Belum meniup, Bunda langsung menyahut, "Eh, ndak boleh, yo! Itu kan bukan kepercayaan kita."
Tapi, Ganesha tetap berdoa.
Ia berdoa supaya ayahnya lebih sering pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...