Ramai. Mirip lomba 17 Agustus di rumah. Bedanya, Ganesha lihat lebih banyak putih daripada merah. Bocah itu memandang sekeliling, memainkan tempat minumnya. Gelisah.
Bunda ada di kursi seberang, dengan pakaian merah muda yang sering ia pakai. Ayah tidak hadir. Sesuai permintaan Ganesha.
"Bun, aku ndak mau ada Ayah."
"Kok gitu?"
"Nanti diece mbek konco-koncoku." (Nanti diejek temen-temenku)
"Lho, Ayah kan mau lihat. Masa yo ndak oleh?"
"Ayah ndeloke nek wes rampung wae." (Ayah liatnya pas udah selesai aja)
Ternyata pertarungan kakak sabuk hitam yang ia lihat beberapa minggu lampau itu dinamakan kumite. Sensei bilang, kalau hasil lombanya memuaskan, Ganesha akan dilatih untuk ikut kumite. Karena, sabuk Ganesha sudah cukup tinggi untuk berlatih kumite. Ia sangat ingin menang. Bunda juga sudah janjikan kue putri salju padanya. Bocah itu jadi gugup. Jadwalnya untuk unjuk gigi sebentar lagi. Meski perlombaan cabang kata tidak memiliki lawan, rasanya tetap mendebarkan. Apalagi, di sini ada banyak kakak-kakak besar yang mengenakan sabuk hitam.
Matanya terpaku pada petarung di depan: dua orang kakak yang besar, dengan sabuk hitam dan cokelat, sedang mempertunjukan kata beregu. Bocah itu pernah melihat latihannya, tetapi hari ini pertarungan kakak tak dikenal itu terasa istimewa, mengingatkannya akan film mata-mata yang pernah Ganesha lihat. Si kakak sabuk biru terus-terusan jatuh, namun tidak lelah untuk bangkit. Jatuh, lalu bangkit lagi. Bangkit lagi. Terus, terus, terus begitu. Beberapa kali yang cokelat juga jatuh. Ganesha seolah mendengar teriakan Sensei saat latihan-latihan kemarin, "Sejatuh apapun kamu terjatuh, tetap kamu harus bangkit lagi!"
Ia bergidik ngeri. Kata beregu adalah pertandingan pura-pura. Sandiwara. Belum kumite. Ganesha belum sampai sana, tapi jantungnya sudah berlari seakan hari ini adalah pertandingan terbesarnya.
"Ganesha Putra Pradana, perwakilan dari SD Islam Al-Syukro!"
Bocah itu membeku. Namanya dipanggil. Ia memaksakan kakinya berlari ke Sensei. Gurunya menawarkan telapak tangan, Ganesha tepuk dengan semangat. "Yok, kamu bisa, Nes!"
Pada kejuaraan kali ini, Ganesha akan ditandingkan dengan sesama kelas 3 SD. Sensei pernah menceritakan tentang kejuaraan nasional O2SN, katanya di sana tidak lagi ditandingkan berdasarkan tingkatan kelas. Peserta diadu sesuai kelompok berat badan. Aneh sekali mendengarnya. Ganesha bahkan lupa berat badannya berapa.
Ia mengintip ke arah Bunda. Entah mengapa Bunda tidak tersenyum. Ganesha tidak berani lambaikan tangan, tidak mau ia menangis karena melihat wajah Bunda. Sensei mengajarkannya untuk menarik napas dalam sebelum memulai: tarik, keluarkan, tarik, keluarkan. Jadi itu yang ia lakukan. Tapi tidak boleh dikeluarkan lewat bawah, ya! Hehehe, pikirnya geli.
Kakinya melangkah ke tengah, di bagian lapangan yang berbeda dengan kakak besar tadi. Ganesha membenarkan bagian sabuknya. Secara otomatis, bocah itu membungkuk.
Kepada semua yang terpilih, Sensei jelaskan ada 5 gerakan kata dasar: Heian Nidan, Heian Sandan, Heian Yondan dan Heian Godan. Itu dari satu aliran. Untuk lomba, banyak juga yang menggunakan kata Unsu, yang berasal dari aliran lainnya. Buat Ganesha, meski yang satu lebih sulit dari yang lainnya, semua gerakan karate bak tarian burung bangau——spesies yang sebenarnya baru bocah itu lihat dua kali: di kebun binatang dan di acara TV.
"Heian Yondan!"
Ganesha membuka kuda-kuda dan mengepalkan kedua tangan. Dibuka kakinya semakin lebar, bersiap menghadap kiri. Bagian ini agak memalukan. Tangannya bergerak perlahan, terbuka membentuk tiga perempat lingkaran. Ke arah kiri lalu ke kanan. Bocah itu membayangkan sedang menjadi Aang si avatar, mengendalikan air-api-tanah-udara. Lalu lepaskan, hiya!
Pukul maju, tendang, pukul kiri sambil tendang, pukul kanan sambil tendang! Berbalik, pukul lagi ke depan dengan tangan terbuka, tendang ke atas, lalu segera kepalkan tangan untuk memukul ke depan. "Kiai!" teriak bocah itu semangat.
Walau baru sebentar, Ganesha bisa merasakan peluh mulai mengumpul. Dadanya berdebar-debar. Ia berupaya fokus, segera balik kiri dengan posisi tangan masih mengepal sejajar bibir. Gerakan sehabis ini Ganesha suka tertukar. Bocah itu mengerutkan dahi, berkonsentrasi dari pangkal rambut hingga ujung kaki.
Ambil kuda-kuda rendah ke kiri, disusul tendangan cepat kaki kanan ke atas dan pukulan kanan-kiri. Perlahan bocah itu berpindah ke posisi bertahan, siap-siap melakukan hal yang sama di sebelah kanan. Hiya, hiya, hiya! Teriak bocah itu dalam hati.
Setelah itu Ganesha berusaha tidak berpikir. Yang penting tendang dan pukul. Ia percayakan tubuhnya bergerak sesuai insting. Tahu-tahu, bocah itu sudah berteriak "Kiai!" lagi. Ia berbalik cepat, menahan kaki dan tangannya dalam gerakan menangkis, lalu beralih ke sisi sebelah.
Napas Ganesha terengah-engah. Keringat bersimbah di bagian punggung, bisa ia rasakan mengalir deras. Beberapa menetes dari rambut ke dahi. Padahal gimnasium tidak panas. Pelan-pelan bocah itu kembali ke posisi awal: hachiji-dachi. Dan, sampailah ia pada gerakan terakhir, membungkuk sebagai tanda hormat.
Ganesha berjalan mundur, masih mempertahankan posisi lengannya sedikit terbuka dengan tangan mengepal. Satu-dua-tiga-empat. Di pinggir lapangan, bocah itu membungkuk ketiga kalinya.
Tepuk tangan menyambut bocah bersabuk biru itu. Ia segera berlari ke Sensei, membalas ajakan Sensei untuk tos serta memeluk Mas Jati—kakak kelas sabuk hitam yang selalu mau mengajari Ganesha teknik yang sesuai. Ia baru berniat menghambur ke kursi berundak ketika sosok berwarna merah jambu memeluknya erat. Bocah itu menghela napas lega. Usai sudah pertandingan pertamanya. Sekarang ia ingin pulang.
"Ini Bunda sudah bawakan putri salju. Kita makan di kursi, ya. Sambil nunggu pengumuman."
Ganesha mengangguk antusias, mendadak lupa akan keinginannya untuk pulang.
"Maaf Ayah ndak datang. Ada janji fisioterapi. Tapi Bunda sudah tuliskan gerakanmu selama lomba tadi. Mudah-mudahan nanti bisa diubah menjadi braille."
Bocah itu mengangguk saja. Ia senang, ternyata Ayah bukan marah karena dilarang datang ke lomba. Ayah memang harus pergi ke dokter, jadi tidak bisa datang.
Gigi Ganesha menyembul di sela senyuman. Saatnya makan kue!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...