SEMBILAN

5.3K 1.3K 87
                                    

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kecebong yang lahir bulan lalu di kolam dekat rumah Ganesha sudah besar, siap menghasilkan kecebong-kecebong baru. Pun begitu Ganesha, tak mau kalah dengan kecebong. Sebentar lagi Ganesha memasuki fase yang baru: kelas dua SD!

Bocah itu sebenarnya biasa saja. Bunda yang kelewat heboh. Sebab, Ganesha besok akan menampilkan pertunjukan karate dengan teman-teman dan kakak-kakak di sekolah. Dicucikan baju karate yang sudah dipakai enam bulan lamanya, lalu disetrika sampai rapi dan wangi, dan tak lupa digantung tinggi-tinggi di kamar Ganesha.

Waktu berlalu begitu cepat. Banyak hal yang harus berubah mendadak. Untungnya, Ganesha anak yang periang. Meski Bunda tak lagi sering membuat kue untuk di rumah, juga mereka tak lagi sering jalan-jalan ke luar kota, bocah itu tetap setia dengan semangat hidupnya. Pagi-pagi pergi sekolah, habis sekolah ia akan ikut ekstrakurikuler karate di sekolah, atau mengaji di masjid, atau main bola sepak dan bola basket di lapangan. Setelah itu mengerjakan PR kalau ada. Kalau tidak ada, ya main apa saja yang bisa dimainkan. Apa saja, asal tidak perlu mengajak Ayah.

Bukannya Ganesha tidak suka. Ayahlah yang tidak mau. Kerjanya di rumah hanya diam dan baca buku. Kalau tidak di rumah, berarti ditemani Bunda fisioterapi di rumah sakit. Selain itu, tidak pernah lagi Ganesha berbicara lebih dari dua kali seminggu dengan Ayah.

Seperti pagi ini misalnya.

Ganesha seperti biasa khusyuk melaksanakan ritual bernyanyi di kamar mandi. Kira-kira liriknya begini: "Aku suka bangun pagi, aku suka gosok gigi, aku suka sarapan, aku suka ke sekolah!" Kemudian ia keluar dari kamar mandi. Segera ia lari ke kamar, memakai seragam secepat yang ia bisa, lalu melesat ke meja makan. Kalau beruntung, kadang Bunda membuat kue pan dengan selai blueberry.

Selain Ganesha, di meja sudah ada Ayah dan Bunda. Tapi lagi-lagi, Ayah hanya tersenyum ke arah depan, kemudian makan dengan tangan kirinya. Tiada sepatah kata pun keluar dari bibir Ayah. Malah Bunda yang cerewet, "Buku sudah dibawa semua?" atau "PR wes kon gawe?" atau yang paling sering "Nanti pulang ke rumah Tante Vina dulu ya, Le." Habis itu, Ganesha cium tangan Ayah dan Bunda, lalu berangkat dengan mobil jemputan. Setiap hari begitu saja.

::: o :::

"Karateka!"

"Ya, Sensei!"

Ganesha menunduk. Tak mampu ia menahan tawanya. Gara-gara bisikan Fauzan, "Celana dalam Yudhis gambar bunga warna jambon!" lalu Ganesha pun serta merta mengintip celana dalam Yudhis yang tak sengaja muncul di tempat yang tak seharusnya.

"Ganes!"

Waduh. Ganesha buru-buru memaksa mulutnya untuk diam.

"Ya, Sensei!" balasnya, membalas tatapan guru karate mereka.

"Jangan tertawa!"

"Ya, Sensei!" Ganesha mengangguk sambil menahan tawa. Di sampingnya, ia dengar suara cekikikan Fauzan.

"Kamu juga, Ojan! Jangan tertawa!"

Kini giliran Ganesha yang cekikikan.

"Serius ya, anak-anak. Ini gladi bersih. Besok kalian tampil. Kalau masih ada yang ngguyu, besok kita nggak jadi tampil!"

"Yaaah. Jangan, Sensei!" sahut krucil-krucil serempak.

Akhirnya Ganesha dan Fauzan menurut juga. Mereka dua dari tiga sabuk putih yang diajak untuk tampil, sengaja diagendakan paling awal untuk menghibur penonton yang datang.

Ganesha tentu senang. Ia sudah tidak sabar menunjukkan keahliannya di depan Bunda. Ayah juga, kalau bisa membayangkan dari suara.

"Ganesha, ojo meneng wae!" (Ganesha, jangan diam saja!)

Bocah itu terlonjak. Benaknya tenggelam dalam beragam petualangan, mulai dari misi penyelamatan alien hingga pencarian harta karun. Karate sangat menyenangkan! Sampai-sampai ia tidak sadar yang lain sudah berpindah posisi.

"Siap grak, Sensei!" sahutnya semangat, membenarkan posisi.

Suara tawa Fauzan terdengar lagi. Ganesha melihat gurunya menggelengkan kepala sambil mengurut dahi. Ia balas mengangkat bahu. Mungkin Sensei sedang sakit kepala. Seperti Ayah setiap malam.

"Ayo kita mulai lagi dari awal, ya. Fokus semuanya!"

"Siap, Sensei!"

Ganesha membungkuk dengan semangat, menunjukkan hormat kepada Sensei. "Osh!"

"Karateka-it!"

Kemudian sederetan bocah berkostum putih bergerak nyaris berbarengan. Buka kaki dan buka tangan, alias kuda-kuda dasar.

"Gedan barai!"

"It!" teriak gerombolan bocah ompong. Maju kaki kiri, pukul tangan kiri. Maju kaki kanan, pukul tangan kanan.

Tidak seperti beberapa teman lain, Ganesha jarang dimarahi selama latihan. Kecuali kalau sedang cekikikan bersama Fauzan. Menurut Sensei, Ganesha memiliki bakat karate yang menjanjikan. Refleksnya sangat baik, mungkin karena terbiasa main bola bersama teman rumah.

"Chudan Zuki!"

"It!"

Gerakan serupa namun beda arah. Kaki kiri ke depan. Ganesha memukul angin sejajar dengan dadanya. Kemudian sisi kanan. Lalu mundur dengan pola yang sama.

"Jodan Zuki!"

"It!"

Lagi-lagi sama. Namun kini tangan Ganesha melayang ke atas. Pukul ke kepala! batinnya semangat.

Setelah itu mereka kembali membungkuk hormat. Baju putih sabuk putih bubar, turun dari panggung. Posisi mereka digantikan bocah sabuk warna-warni yang akan melakukan pertarungan sesungguhnya.

Turun dari panggung, Ganesha menyambut ajakan tos dari Sensei. Yang lain menyusul. Prok! Wajah Ganesha berseri, hampir secerah mentari. Walau gerakan yang ditampilkan hanya tiga, ia merasa bak pendekar naga yang siap memberantas kejahatan di enam benua.

Besok-besok, kalau Bunda diserang orang jahat, Ganesha tidak perlu minta tolong ke Mbak Kunti dan Pak Ustad lagi!

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang