DUA BELAS

4.9K 1.1K 99
                                    

Hhh. Hhh.

Ganesha tersentak. Susah payah mengatur napasnya yang terengah. Tengkuknya panas. Badannya terbakar. Ia melirik kanan dan kiri. Gelap.

Pertama kali, ia menangis. Yang kedua, masih menangis. Ketiga, keempat, kelima, tangisannya semakin jarang. Kini entah sudah keberapa kali ia berada di mimpi yang sama. Adegan yang sama. Bocah itu tak lagi menangis. Ia tidak mau Bunda khawatir lagi. Meski begitu, Ganesha selalu gagal memahami apa yang ia rasakan. Takut? Marah? Sedih? Ia bingung, nama-nama itu tak terasa sesuai. Perasaan seperti perjalanan ke apotek. . . entah apa namanya. Yang jelas, Ganesha benci sekali perasaan semacam itu.

Kadang, ia benci dirinya karena tidak pernah berhasil mengganti mimpinya. Ganesha ingin mimpi yang lain. Terbang naik pesawat tempur, menjelajah di hutan rimba, balapan naik serangga, berburu harta karun bajak laut, atau menjadi pendekar penangkap alien. Apa sajalah. Pokoknya bukan gang yang sama dengan orang yang sama.

Ia pernah mencoba menahan kantuk. Demi tidak bermimpi. Sayangnya selalu gagal. Latihan karate, dolan bal—balan, balap sepeda, dan kegiatan sore harinya selalu membuatnya mengantuk. Jadinya, mimpi itu datang lagi dan lagi.

Bocah itu menghela napas. Lelah sekali. Tapi, kata pak guru di sekolah, laki-laki tidak boleh cengeng. Laki-laki harus kuat. Ganesha berarti tidak boleh menangis. Apalagi hanya karena mimpi.

Ganesha menggosok matanya dengan kasar. Sekujur badannya nyeri. Kemarin, Sensei memaksa Ganesha dan teman-teman untuk berlatih lebih keras. Push-up, plank, squat jump, berlari dan bermacam variasinya tiba-tiba terdiri dari terlalu banyak set. Siapapun yang ketinggalan akan diberi set tambahan. Siapapun yang sakit dan tidak kuat, tidak diperkenankan untuk ikut latihan minggu depan. Ganesha hampir menyerah. Tubuhnya menangis kesakitan, dari ujung kepala hingga ujung jari kaki. Bahkan Fauzan sudah menyerah di awal-awal set. Namun tiap kali godaan untuk berhenti datang, ia melihat Bunda sedang berteriak ketakutan.

Bocah itu memacu tubuhnya lebih keras. Sampai nyaris kebas seluruhnya. Penglihatannya buram. Tapi selama Sensei belum bilang berhenti, Ganesha tahu ia tidak boleh berhenti.

Ketika akhirnya latihan selesai, bocah itu seperti melayang. Padangannya berkunang-kunang. Ia nyaris muntah beberapa kali. Untung, Sensei langsung memberikan minuman elektrolit. Ganesha ambruk di lapangan, di sekelilingnya kakak senior juga tampak terengah-engah. Dari sesama kelas tiga, hanya dirinya yang bertahan sampai akhir.

Hari itu Ganesha pulang naik ojek. Sesampainya di depan rumah, terdengar suara Bunda dari luar. Ganesha yang limbung, mendadak tegak. Jarang-jarang Bunda berbicara dengan nada tinggi. Impiannya tidur di kasur selembut kapas sirna sudah. Bocah itu melangkah diam-diam, berusaha mendengarkan lewat depan pintu.

"Yo aku ngerti. Tapi opo yo perlu nyambut gawe? Mengko Ganes ki meh karo sopo? Mosok karo Vina wae?" (Iya, aku ngerti. Tapi apa perlu kerja? Nanti Ganes mau sama siapa? Masa sama Vina terus?)

"Ya karo kon ta, Mas! Nek aku neng omah wae mengko Ganes ndak sekolah piye?" (Ya sama kamu lah, Mas! Kalau aku di rumah aja nanti Ganes ndak sekolah gimana?)

"Lah anakmu ki ndak seneng mbek aku, Las. Bapaknya raiso diajak dolan, raiso mlaku-mlaku, koncone wedi kabeh karo aku. Piye kon pikir ndak rasane dadi Ganes?" (Lah anakmu tuh ndak suka sama aku, Las. Bapaknya ndak bisa diajak main, ndak bisa jalan-jalan, temennya takut semua sama aku. Gimana kamu mikir ndak rasanya jadi Ganes?)

Bocah itu menggigit bibir. Ia sangat ingin pergi. Sejauh mungkin dari tempatnya berdiri. Dari dulu, pertengkaran orang tuanya selalu membuatnya takut. Sore itu, Ganesha meninggalkan tasnya di depan rumah dan membiarkan kakinya berjalan. Entah kemana tujuannya, yang jelas, Ganesha ingin bisa segera memejamkan mata dengan tenang.

Bunda ingin segera bekerja. Ganesha tahu orang bekerja untuk mencari uang. Uang dipakai supaya bisa makan, sekolah dan beli mainan. Apa itu artinya Bunda butuh uang? Akhir-akhir ini memang Bunda tidak pernah memberikannya uang jajan lagi. Namun bekal yang dibuat Bunda selalu enak. Ganesha tetap senang meski tak bisa jajan di kantin. Ia berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut. Mungkinkan Ayah dan Bunda tidak lagi punya uang?

"Iki duit soko ngendi, Mas?" (Ini uang dari mana, Mas?)

"Pinjem masku." (Pinjem masku)

"Lho piye ta? Mengko balekke piye?" (Lah gimana, sih? Nanti balikinnya gimana?)

Bocah itu terlonjak dari lamunannya. Tubuhnya mengerut. Ia tidak mengerti mengapa orang tuanya terus-menerus mempermasalahkan uang. Kemarin, saat ia pulang, mereka meributkan uang. Hari ini, Ganesha bangun, masih meributkan uang. Ganesha pusing mendengarnya. Tadi pagi ia bertanya ke bu guru, bagaimana sih caranya cari uang? Katanya, kalau menang lomba karate mungkin Ganesha bisa dapat uang. Lampu di kepala Ganesha menyala terang. Bocah itu sudah pernah menang lomba karate sekali. Mungkin nanti dia bisa menang yang banyak, lalu uangnya untuk Ayah dan Bunda di rumah.

"Lastri!"

Suara ayahnya bergemuruh sampai ke kamar. Tanpa berpikir panjang, Ganesha langsung berdiri dan lari keluar. Ditemukannya Bunda duduk di sofa, tak jauh dari Ayah. Bocah itu langsung memeluk Bunda erat.

"Ealah, cah nggantheng wis tangi?" (Ealah, anak ganteng sudah bangun?)

Ganesha melepas pelukan Bunda sebelum menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Bun, jarene bu guru yen melu lomba karate ki iso dapet duit." (Bun, kata bu guru kalau ikut lomba karate tuh bisa dapat uang)

"Kon pingin nggawe duit ta, Le?" (Kamu mau cari uang toh, Nak?)

"He e. Kanggo Ayah karo Bunda." (Iya. Buat Ayah sama Bunda)

"Oalah. Ndak usah, Le. Kalau menang lomba, uangnya untuk kamu tabung. Ayah sama Bunda nanti cari uang sendiri. Yang penting kamu sekolah sama karatenya senang."

"Tenanan?" tanya Ganesha. Keningnya berkerut.

"Iya, Nes. Ayah sama Bunda nanti cari cara. Kamu tenang aja." Ayah menimpali. Dada Ganesha berdegup-degup. Jarang sekali ia mendengar Ayah berbicara selain hati-hati kepadanya. Bahkan saat ia bertengkar dengan Bunda karena remot TV, Ayah tidak pernah menimpali.

"Kalau uangnya ndak ketemu gimana?"

"Gusti Allah mboten sare, Nes." (Gusti Allah tidak tidur, Nak)

Kerutan di kening bocah itu semakin dalam. Orang dewasa selalu membingungkan. Dari kemarin, ia mendengar Ayah dan Bundanya berdebat tentang uang. Hari ini, mereka bilang Ganesha tidak usah membantu. Kalau tidak perlu dibantu, mengapa mereka masih bertengkar?

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang