Napas Ganesha tercekat. Matanya terbuka lebar. Ia bermimpi dimakan awan. Awannya tertawa, menyiramnya dengan salju, lalu membuka mulutnya yang penuh petir menyambar. Bocah itu refleks berteriak memanggil Bunda.
Kamarnya gelap. Bunyi petir mendobrak paksa dari luar, membuat tubuh Ganesha gemetar. Ia mencoba berguling, Bunda gagal ditemukan. Panik melandanya. Semalam Bunda ada di samping, memeluk Ganesha sebelum tidur.
"Bunda!" Bocah itu mencoba sekali lagi. Suaranya pecah di akhir.
Ia memaksakan diri untuk bangkit, meraba-raba dalam gelap.
"Bunda?"
Matanya mengerjap cepat, menyesuaikan perubahan cahaya tiba-tiba. Ruang keluarga kosong. Hujan bergemuruh. Ganesha terbayang-bayang awan jahat berpetir di mimpinya tadi. Ia tidak berani menoleh ke jendela. Secepat kilat, kakinya berlari ke kamar Bunda. Sudah lupa ia kewajiban mengetuk pintu, tahu-tahu kamar bernuansa krem muncul di depan pintu.
"Bun...?"
Ganesha hampir tidak mendengarnya. Di tengah deru hujan, amukan petir, dan pekikan angin, nyaris mustahil mendeteksi desah napas putus-putus penuh pilu.
"Bunda ngapain?" Kerutan muncul di dahi si bocah. Dorongan untuk menangis karena awan jahat seketika sirna.
"Pakai jaket, Le. Kita mau pergi." Bunda menggosok matanya dengan lengan.
"Kemana?"
"Ke rumah sakit."
"Bunda sakit?"
"Ndak. Ayo gek njupuk jaket disek." (Nggak. Ayo cepat ambil jaket dulu)
"Jaketku neng ndi?" (Jaketku di mana?)
"Di lemarimu. Digantung. Bunda ambil jas hujan dulu."
Meski belum paham, Ganesha menurut. Jaket cokelatnya memang biasa tergantung di lemari. Sejak diterima di sekolah dasar, ia jadi hapal letak baju di gantungan karena Bunda memintanya memakai seragam sendiri setiap hari.
Kaki kecilnya berlari lagi. Bunyi petir masih menggedor rumahnya dari setiap sisi, tapi ia tidak setakut tadi. Sudah ada Bunda. Semisal awan jahatnya datang lagi, dia bisa bersembunyi di balik tubuh Bunda. Orang dewasa kan kuat, pasti bisa menangkal awan dan hujan.
Katanya, mimpi seram itu berarti Ganesha sedang diganggu oleh setan. Agar tidak diganggu, harus baca doa. Tetapi kadang, membaca doa belum mempan. Kalau sudah begitu, Bunda bilang itu akibat Ganesha terlalu banyak melihat cerita monster.
"Le, sudah belum?" Terdengar panggilan Bunda dari jauh.
"Iyaa!" Ia berteriak membalas.
Ganesha hampir lupa. Ia segera membuka lemari, berjinjit sedikit, lalu mengambil jaket miliknya.
"Sudah dipakai?"
Bocah itu terburu-buru memasangkan jaket, kemudian berlari ke kamar Bunda. Ia lihat Bunda sudah siap dengan tas dan payung.
"Cepet, taksine wis tekan." (Cepat, taksinya sudah datang)
Lagi, Ganesha berlari. Tujuannya adalah teras rumah. Sandalnya sudah menunggu di depan. Selepas membuka pintu, tubuh bocah itu disambut angin kencang. Sesuai dugaan, hujannya deras. Ada cahaya terang disertai bunyi keras. Ganesha spontan berbalik dan menubrukkan badan ke kaki Bunda.
"Sudah, ndak apa. Jangan takut."
Tetap saja ia mengerut, memeluk kaki Bunda sekuat tenaga. Tubuhnya terayun-ayun mengikuti langkah Bunda. Di luar, petir makin ganas. Bunda mengancing pintu. Payung penghalau pun dibuka. Ganesha dipaksa melepaskan kaki Bunda, harus puas hanya dengan menggandeng tangannya di bawah payung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...