Keesokan hari dan seterusnya, dua pesawat itu menjadi mainan kesayangan Ganesha. Sebelum tidur ia mainkan. Bangun tidur, pesawat itu yang pertama dicari. Sedang menonton televisi, kedua pesawat diletakkan di sampingnya, diajak ikut menonton. Kadang, diajak makan juga, pura-puranya pesawat ikut meminum susu. Kemudian, saat ditawari Bunda membuat kue, pesawat itu akan berperan sebagai bala bantuan, mengangkut alat dan bahan yang diperlukan.
Semua bisa diangkut kecuali telur. Ganesha pernah membawa dua telur di atas pesawatnya. Eh, malah jatuh. Omelan Bunda langsung memenuhi dapur. Habis itu Ganesha tidak mau bawa telur lagi. Tapi yang lain tentu masih ia angkut dengan pesawat: keju, gula, vanili, pewarna, sendok, whisker, cetakan dan sebagainya.
Termasuk sore ini. Kata Bunda, mereka akan membuat puding cokelat dengan vla vanila. Ganesha mengangkut susu kental manis dan gula dengan pesawat. Bunda menyiapkan adonan. Pesawat Ganesha lalu mengangkut vanili. Bunda menyalakan kompor, memasukan semua bahan ke dalam panci, kemudian mengaduk semuanya. Biasanya Ganesha akan berdiri tidak jauh dari Bunda, mengamati, sesekali bertanya. Tetapi semenjak ada pesawat, perhatiannya teralihkan sepenuhnya. Sambil menunggu Bunda mengaduk, ia menerbangkan pesawat berkeliling meja. Ketika Bunda mengabari akan mengambil cucian di luar karena takut hujan, Ganesha pun tak acuh, sibuk dengan mainannya sendiri.
Ia memanuver pesawatnya melewati tumpukan piring yang baru dicuci. Pesawat berputar, menghindari pancuran air keran yang sengaja Ganesha nyalakan. Di benaknya, pancuran itu merupakan air terjun yang pernah ia lihat di televisi. Lantas, dari air terjun, pesawat menukik tajam melintasi langit-langit. Ganesha berjalan mundur sambil memunculkan suara "Wuuush!"
Tetapi, di tengah jalan, suara itu berubah menjadi erangan keras. Pesawat Ganesha jatuh seketika. Panci ikut terjatuh dengan suara klontang yang nyaring, seluruh isinya yang tengah mendidih tumpah. Cipratannya menodai perabotan Bunda dan kaki Ganesha. Panik, bocah itu memanggil-manggil Bunda. Kaki dan lengannya panas, bukan panas air mandi kalau pagi, tapi panas perih. Pedih. Membuat Ganesha ingin menangis.
"Astaghfirullah! Kamu ngapain, Le?"
Anak itu menoleh. Tangisnya pecah. Bukan Bunda yang menghampirinya. Ayah, dengan kaos loreng-lorengnya, juga panik. Ia berjongkok, mengamati lengan atas Ganesha yang terkena panci.
"Kamu kena di mana lagi?"
"Di kaki. Panas, Yah," jawab Ganesha, terisak-isak.
Ayah langsung memeluk pinggangnya, menggendong anak semata wayangnya. Ganesha didudukkan di wastafel. Kedua kakinya menapaki dasar yang terbuat dari besi. Ayah mengencangkan aliran air yang belum dimatikan, lalu mengarahkannya ke kaki Ganesha yang sakit.
"Tanganmu juga dikasih air. Biar lukanya ndak sakit. Sudah, jangan nangis."
Ganesha menurut, walau masih juga menangis. Ia menyodorkan lengan atas ke aliran air. Benar kata ayahnya, perih yang ia rasakan mulai hilang.
"Kamu tunggu sini, ya. Ayah ambil obat."
Ganesha mengangguk, kini berusaha mengeringkan tangisnya dengan tangan yang sehat. Derap langkah Ayah mengisi ruangan, menjauh, kemudian hilang.
Bocah itu menunggu.
Yang ia dengar berikutnya bukan derap kaki Ayah. Yang ia dengar berikutnya membuatnya terlonjak di tempat, menyebabkan jantungnya berdentum-dentum. Yang ia dengar berikutnya adalah bentakan Ayah memanggil nama Bunda, menggema di seluruh rumah.
Ayah tidak pernah membentak siapapun di rumah. Semut pun tidak. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, juga tidak bisa mendengar suara Bunda. Jadi bocah itu menunggu.
Dan menunggu.
"Kon gak becus ngurus anak, Las!" (Kamu nggak bener ngurus anak, Las!)
"Lepas, Mas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...