PROLOG

23.4K 3.3K 617
                                    

Waktu itu malam Jumat. Ganesha tidak bisa tidur. Tadi sore, teman mengajinya bercerita tentang hantu yang suka mampir ke kamar anak kecil tiap malam Jumat. Hantunya ada tiga jenis, tergantung mana yang sedang mampir. Yang satu tanpa kepala, satunya lagi punya muka datar, dan satunya lagi mirip noni Belanda yang terbunuh karena rumahnya dijarah saat revolusi. Kata temannya, kalau malam Jumat Kliwon, tiga-tiganya bakal datang.

Biasanya Ganesha tidak takut hantu. Tapi hari ini bukan Jumat biasa. Kata Bunda, ini malam Jumat Kliwon.

Semalaman, kerjaannya hanya berguling. Telentang, gelisah. Guling kanan, juga gelisah. Guling kiri, makin gelisah, takut ada yang tiba-tiba muncul di belakang punggungnya. Matanya terpejam. Tapi sampai lama sekali, kesadarannya masih penuh. Malahan, imajinasinya berangsur liar, membayangkan tidak hanya tiga jenis hantu, tapi semua yang pernah ia lihat di televisi.

Sudah gitu, dia kebelet pipis. Sekarang bukan batinnya saja yang gelisah, kandung kemihnya pun tidak tenang.

Setelah berguling lima kali, Ganesha menyerah. Dia harus pipis. Nanti Bunda marah kalau Ganesha mengompol lagi.

Semua doa yang pernah diajarkan di sekolah dibisikannya. Doa makan, doa sebelum tidur, doa mau belajar. Ayat kursi, walaupun patah-patah, ia lantunkan dengan segenap hati. Ganesha harus pipis di kamar mandi. Ganesha tidak akan bertemu hantu di sana. Ganesha sudah besar, sudah lima tahun. Anak lima tahun tidak takut hantu!

Ternyata, Ganesha memang tidak perlu takut. Begitu membuka pintu, ia lihat Bunda sedang merapikan kerudung. Ganesha tidak tahu sekarang jam berapa, tapi pasti sudah malam karena ayahnya sudah tidak membaca buku di ruang keluarga.

"Nes, kok bangun?"

"Mau pipis. Bunda mau ke mana?"

"Beli obat buat Ayah, Nes."

"Aku mau ikut!"

"Ndak boleh, ya. Sudah malam. Kamu pipis, terus bobo."

"Aku ndak isa turu. Takut hantu. Aku ikut Bunda aja, ya?"

Bunda menggeleng.

Ganesha siap menangis. "Aku mau ikut . . .," katanya, suaranya pecah. Tanpa sadar, pipis yang ia tahan ikut mengalir, sudah tak muat lagi di dalam tubuhnya.

"Eeh, kok malah ngompol? Ya sudah, boleh ikut. Kita cebok dulu."

Bunda mengambil keset, membuka baju Ganesha, lalu mengajak bocah itu ke kamar mandi. Ganesha menurut saja. Dia lega karena tidak harus menunggu hantu tiga jenis di dalam kamarnya.

Saat itu, Ganesha belum tahu kalau ada yang lebih seram dari hantu.

Seperti perkiraannya, malam memang sudah larut. Tidak ada orang lain di jalan. Ganesha dan Bunda berjalan bergandengan melewati gang yang gelap. Otak Ganesha berisik, kreatif menciptakan bentuk dan suara aneka hantu penunggu pohon raksasa di sekeliling mereka. Akhirnya Ganesha memilih untuk melihat jalanan saja. Tidak akan ada hantu di bawah.

"Bun, emang ada yang jual obat kalau sudah malam?"

"Ada apotek yang buka 24 jam, Le."

"Apa itu?"

"Apotek yang ndak pernah tutup. Kalau siang buka, kalau malam juga buka."

"Oh, gitu."

Dalam keheningan, Ganesha mendengar suara tawa. Bukan suara melengking hihihihi seperti cerita teman mengajinya. Suara lelaki. Tidak satu, ada lebih. Penasaran, Ganesha pun menoleh. Dia hitung, ada satu, dua, tiga, empat, lima. Semuanya tinggi, seperti ayahnya sebelum jatuh.

Setelah itu, apa yang Ganesha lihat tidak bisa ia pahami.

Kelima lelaki itu menghalangi jalanan Ganesha. Mereka tertawa lagi. Ganesha memeluk erat lengan Bunda. Takut. Lelaki di depan Ganesha tidak seperti hantu di cerita teman mengajinya. Mereka lebih seram.

Tiba-tiba, Bunda ditarik paksa.

Ganesha berteriak.

Teriakannya terpotong oleh benda berat yang mendorongnya ke belakang. Ia jatuh terduduk. Dadanya nyeri, bokongnya perih karena menubruk aspal.

Tapi bukan itu yang membuat pipi Ganesha basah.

Bunda tidak kelihatan. Dikerumuni laki-laki tadi. Yang Ganesha tangkap hanya pekikan Bunda, permintaan tolong yang begitu keras, bahkan jauh lebih keras daripada omelannya tiap Ganesha lupa melepas sepatu di dalam rumah.

Sekeliling Ganesha buram. Ia berjalan mendekat. Kali ini tidak ada yang menendangnya. Ia bisa lihat Bunda, menangis, berteriak, menendang-nendang, tangannya dipegangi ke dua arah. Rok panjang Bunda terangkat sampai perut.

Malam itu, Ganesha baru tahu kalau ada yang lebih seram dari hantu.

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang