ENAM

7.2K 1.5K 38
                                    

Seragam siang itu merah putih, seperti bendera yang berkibar di ujung tiang. Matahari menyala, terlalu semangat menyinari bocah-bocah yang melambai ke Bu Guru. Ganesha suka sekolah barunya. Banyak pohon, bisa lari-lari, kantinnya menjual es krim pula. Lagi pula, tak ada teman yang suka memukul dan mendorongnya, berbeda dengan sekolah kemarin.

"Nes, dolan PS neng omahku, yok!" (Nes, main play station di rumahku, yuk!)

Namanya Ahmad, teman sekelas Ganesha yang kebetulan punya rumah di seberang gang. Mereka berkenalan di mobil antar jemput. Pemicunya tak lain tak bukan ialah tempat minum yang dikalungkan keduanya. Sekilas biasa saja dengan warna biru. Yang istimewa gambar Captain Tsubasa dengan bolanya. Meski sebetulnya adegan menendang bolanya berbeda, hal itu cukup untuk membuat Ahmad menyapa Ganesha dengan antusias.

"Aku mau ke rumah sakit..." jawab Ganesha, mengerucutkan bibir. Ia sebetulnya sangat ingin main play station.

Apa boleh buat, perintah Bunda harus dituruti. Meski Ganesha tidak suka ke rumah sakit. Main bola lebih seru. Mengaji juga seru, bisa kejar-kejaran di masjid. Kadang ia main yang lain; petak umpet, petak jongkok, benteng, lompat tali. Apa saja lebih seru daripada menunggu di rumah sakit.

"Lho, ngapain?"

"Bundaku nemenin Ayah di rumah sakit."

"Ayahmu sakit?"

"Iya." Bocah itu mengangguk.

"Sakit apa?"

Ia mengernyitkan dahi. Bunda dari kemarin tidak bilang sakit apa. Ganesha hanya tau Ayah jatuh dan kulitnya terbakar. Bocah itu juga tidak berminat menanyakan. Ia tidak suka lihat Ayah yang sekarang. Wajahnya menatkutkan. Tidak bisa diajak bercerita juga, seharian diam saja. Sejak mereka tinggal di rumah sakit, kerjaan Ganesha hanya menonton TV dan bermain dengan mobil-mobilan. Mainan yang lain lupa dibawa Bunda.

"Jatuh."

"Ooh. Ya wis, sesuk mainnya piye?" (Ooh. Ya sudah, besok mainnya gimana?"

Senyum Ganesha merekah. Tentu ia mau. Semoga Bunda mengizinkan. "He e. Nanti kutanya Bunda."

"Dadah, Ganes!" Ahmad melambaikan tangan. Ibunya sudah menjemput di dekat pagar. Ganesha balas melambai sebelum duduk di kursi terdekat.

Setiap hari, Ganesha dijemput tukang ojek langganan Bunda. Pak Bagya lebih tua dari Ayah, berjaket cokelat tua dan siap sedia helm untuk berdua. Tukang ojek itu murah senyum tapi jarang mengajak ngobrol. Karena perjalanan dari sekolah ke rumah sakit panas dan macet, Ganesha sering tertidur di jalan.

Kalau sudah sampai, Pak Bagya biasanya menghampiri Ganesha tanpa melepaskan helm. Bocah itu senang sekali melihatnya, seperti menonton film astronot luar angkasa. Kemarin ia ingin coba pakai helm di rumah sakit, tapi tidak boleh sama Pak Bagya, katanya nanti tersandung. Padahal Pak Bagya selalu pakai helm ke sekolah. Orang dewasa memang aneh.

"Den Ganes!"

Ganesha menoleh. Benar, kan. Pak Bagya masih pake helm. Bocah itu segera berlari menghampiri. Mereka berjalan ke parkiran. Hari ini panas sekali, sampai-sampai Ganesha menguap lebar. Ia sungguh menanti waktu tidur siang di jok belakang Pak Bagya.

::: o :::

Tanpa helm, Pak Bagya selalu menemani Ganesha naik ke lantai tiga. Padahal Ganesha sudah berani sendiri. Ia sering ke sini, jadi sudah tahu jalan menuju kamar Ayah. Pokoknya, kalau turun di parkiran motor, ia harus ke pintu besar yang ada satpamnya. Setelah itu jalan terus sampai ada lift. Tekan panah ke atas, tunggu pintu terbuka, lalu masuk. Di dalam tekan nomor tiga. Nanti pintunya terbuka, bocah itu bisa keluar. Kamar Ayah nomor 308. Ganesha harus jalan lagi dari lift, mencari pintu dengan angka sesuai. Sampai di depan kamar, Pak Bagya pamit. Demikian setiap hari.

Ganesha membuka pintu. Ruangan di dalam masih sama. Lantai putih dan tembok putih dengan dua kasur, dipisahkan tirai berwarna cokelat. Bocah itu berjalan melewati kasur kosong menuju kasur ayahnya di seberang.

"Eh, Ganesha sudah pulang, ya?" sambut Bunda dengan senyuman.

Bocah itu menghambur ke arah Bunda, memeluk pinggangnya erat. Tampaknya Bunda sedang membaca, di tangannya ada buku berwarna kuning. Ganesha melirik sekilas, Ayah sedang tidur. Kata Bunda kemarin Ayah dioperasi. Makanya Ganesha diminta pulang ke rumah Tante Vina, tetangga mereka. Hari ini ia lihat di wajah ayahnya ada banyak kain warna putih.

"Itu putih-putih apa, Bunda?" Jarinya menunjuk wajah Ayah. Di area dagu dan mulut semua tertutup putih. Sedang bagian lainnya masih berwarna aneh, ada merah hitam dan putih, susunannya sembarang. Bunda bilang bagian yang lebih terang berarti kulit Ayah yang rusak sudah lepas, digantikan kulit baru. Ia berusaha tidak sering melihat wajah ayahnya. Kasihan, tapi seram. Mengingatkan bocah itu akan monster. Apalagi, alisnya masih hilang.

"Itu namanya perban. Supaya wajah Ayah cepat sembuh. Kemarin kan habis dioperasi, Le."

"Perban itu apa?"

"Kain. Di dalemnya ada obat dari dokter."

"Oalah."

"Sini duduk di samping Bunda." Bunda menggeser kursi dan meletakkan buku di meja.

Ganesha menurut. Ia perhatikan sekeliling. Kemarin Bunda mengajarinya tentang tiang infus dan masker oksigen. Juga kulit Ayah yang rusak dan harus diganti. Ganesha sempat menanyakan selang di ujung kasur, yang tersambung dengan kantong berwarna kuning. Baru tahu ia ternyata itu air pipis.

Belum pernah ia dirawat di rumah sakit. Tidak ingin juga. Alatnya terlalu banyak. Sudah gitu, kerjanya hanya tidur seharian. Membosankan. Sore-sore begini Bunda suka mengajak main congklak atau bekel. Kemarin Ganesha tanya, Bunda tidak mau bawa mainan banyak-banyak. Lebih baik main di rumah Tante Vina, katanya. Bocah itu jadi sebal.

"Bunda?"

"Iya, sayang?"

"Kita sampe kapan tinggal di sini?"

Bunda tak langsung membalas. Ganesha merasakan tangan Bunda, bergerak pelan naik turun di kepalanya.

"Kenapa? Ganesha nggak suka di sini?"

Bocah itu menggeleng. "Nggak. Bosen. Aku mau di rumah aja, bisa main."

"Kamu lebih seneng di rumah Tante Vina?"

"Iya. Aku bisa main bola."

Suara Bunda hilang lagi. Bocah itu semakin tidak suka rumah sakit. Di sini, Bunda jarang bicara. Tidak ada dongeng sebelum tidur, karena Ganesha tidak tidur bersama Bunda. Tidak pula bernyanyi bersama di dapur, menemani Bunda membuat kue macam-macam. Pun tidak bisa jalan-jalan di taman rumah sakit, karena Bunda tidak mau meninggalkan Ayah di kamar sendirian. Ganesha tidak bisa melakukan apa-apa.

"Kita bakal di sini sampai Ayah sembuh, Le. Kamu mau di rumah Tante Vina aja?"

"Mmm," bocah itu mengerutkan alis, berpikir keras, "iya, deh. Aku mau main PS di rumah Ahmad. Rumahnya deket sama rumah Tante Vina."

"Bunda coba telepon Tante Vina dulu, ya. Nanti Bunda tanya suster, kita bisa telepon di mana."

Semangat Ganesha seketika berkobar. Mulutnya yang mencucu berubah menjadi senyuman lebar, lengkap dengan gigi ompong. Bocah itu membayangkan semua mainan yang akhirnya bisa ia mainkan di rumah.

"Oke! Emang Ayah sembuhnya kapan Bunda?"

"Kamu doain aja supaya Ayah cepet sembuh, ya?" Tangan Bunda kembali mengelus kepala Ganesha.

"Iya! Kalau udah sembuh, berarti bisa naik pesawat lagi? Ayah nanti jadi pilot lagi?"

"Bunda nggak tau, Le. Kita banyak doa aja buat Ayah, semoga Gusti Allah kasih yang terbaik."

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang