Ganesha tersenyum sumringah. Hobinya semakin banyak dan seru semuanya. Dulu, setia ia bermain dengan kawan dekat rumah. Macam-macam lah dimainkan. Sebut saja main bola, balap sepeda, petak umpet, petak jongkok, benteng, polisi maling sampai lompat karet dan main gundu.
Sekarang, beberapa hari sekali, bocah itu lebih setia duduk di dapur. Menunggu, mengaduk, dan mencampur apa saja yang diminta Bunda. Spesialisasi Ganesha adalah memegang mixer, seru banget bunyi nguung nguuung nguuung. Kadang, Bunda juga minta antarkan pesanan ke tetangga. Melajulah Ganesha dengan sepeda andalannya seolah sedang adu balap profesional. Kalau pagi, Bunda juga titipkan banyak kue untuk Ganesha jual di sekolah. Bocah itu senang saja. Cita-citanya jelas bukan menjadi koki atau tukang kue seperti Bunda, namun bocah itu amat menantikan jatah bonus kue tiap kali jualannya laku.
Bahkan itu bukan bagian terbaiknya. Yang paling hebat, karena Bunda membuat kue setiap hari, Ganesha jadi bisa makan kue setiap hari!
Tentu bukan tanpa risiko. Satu gigi gerahamnya bolong karena lupa menggosok gigi suatu malam. Bocah itu sampai menangis kesakitan. Untungnya, kata pak dokter, gigi Ganesha masih akan tumbuh lagi, jadi nanti ia bisa punya gigi yang lebih bagus. Untuk sekarang, giginya hanya dibersihkan, lalu ditambal supaya tidak menjadi sarang kuman. Namun tak apa, Ganesha suka ke dokter gigi. Pak dokter memberikannya stiker dan mainan. Pasta giginya juga rasa cokelat. Lalu, karena ia tidak menangis, Ayah dan Bunda juga memberikannya hadiah di rumah.
Bocah itu hampir-hampir ingin sakit gigi lagi.
Namun, setelah dipikir, sakit gigi tidak seenak itu. Gara-gara janjian dengan pak dokter, Ganesha sampai bolos satu sesi latihan karate. Padahal ia sedang persiapan lomba lagi. Akibatnya, sejak saat itu, Sensei selalu berpesan kepada setiap anak untuk menggosok gigi sebelum tidur.
Seperti sore ini.
"Jadi adik-adik, kalau mau tidur jangan lupa apa?"
"Sikat gigi, Sensei!!"
"Biar apa?"
"Biar giginya ndak bolong kayak Ganes!"
"Hahaha!"
Awalnya Ganesha merajuk, bibirnya agak monyong ke depan. Lalu ia akan balas mengejek teman-temannya bergigi ompong dan hitam di bagian depan. Namun, lama-kelamaan ia ikut tertawa juga. Bunda bilang, Ganesha harusnya bersyukur, karena pernah sakit gigi ia jadi belajar caranya merawat gigi supaya tidak sakit lagi.
"Wis ojo ngguyu wae, ayo latihan!" (Sudah jangan ketawa aja, ayo latihan!)
Kompak, Ganesha dan kawannya yang tak lagi menggunakan sabuk berwarna cerah, berdiri sesuai posisi. Walau kadang malas dan kesal, Ganesha tetap suka karate. Teman-temannya seru. Sensei juga asyik, meski sering galak. Ia paling senang ketika berhasil melewati ujian menuju sabuk berikutnya. Sedikit lagi, ia akan mencapai sabuk hitam. Tantangan yang diberikan Sensei semakin sulit. Tapi, Ganesha paling anti dengan yang namanya menyerah. Kalau ia kalah dan malas, nanti tidak bisa bantu Bunda cari uang.
Ganesha harus bisa! Ganesha harus semangat! Begitu suara di otak bocah 8 tahun itu setiap harinya.
Kalau sedang malas berlatih, Ganesha akan membeli dagangannya sendiri, lalu dimakan di pinggir lapangan. Paling tidak, asupan gula dari kue Bunda cukup untuk memompa semangatnya sampai latihan selesai.
"Nes, ibuku bilang mau pesen kue dari ibumu, buat nikahannya masku."
"Oooh, sik yo aku ambil kartu nama Bunda!" Bocah itu mengangguk-angguk ceria. Bunda sudah membekalinya kartu nama beserta nomor yang dapat dihubungi.
Adegan semacam ini makin sering Ganesha hadapi di sekolah. Berkat resep kue Bunda yang hebat, dagangan Ganesha hampir selalu habis. Kadang, ada juga yang memesan kue untuk acara di rumah mulai dari kondangan, arisan, sampai pengajian. Kalau sudah seperti itu, rumah Ganesha biasanya jadi kacau. Perintah Bunda semakin banyak, waktu Ganesha membantu di dapur juga semakin lama. Jalanan di rumah semua penuh kue, sampai ia tidak bisa jalan. Pokoknya gawat deh!
"Yo, makasih ya, Nes," sahut temannya, lantas berlari ke tempat tasnya tergeletak.
Ganesha melangkah ringan. Sehabis latihan karate, ia selalu didera lapar. Kue dagangan Bunda sudah habis, bekalnya juga sudah habis. Mas-mas yang jualan di depan sekolah juga sudah tutup. Bocah itu hanya mampu mengusap perutnya yang berbunyi nyaring.
"Sabar ya, cacing-cacing di perutku. Di rumah nanti pasti kita makan enak!"
Ia melambaikan tangan kepada teman-temannya. Pak Bagya, abang ojek terpercaya Bunda sejak Ganesha masuk sekolah dasar, sudah menunggu di depan gerbang. Bocah itu memakai helm yang sedikit kebesaran kemudian naik dengan lincah.
"Sampun, den?" (Sudah, Mas?)
"Sampun, Pak. Aku wis ngelih, gasik yo, Pak." (Sudah, Pak. Aku udah laper, cepet ya Pak)
"Oalaah.. Ya kita jajan sik nek ngono." (Oalah, ya sudah kita jajan dulu kalo gitu)
"Ndak usah, uangku wis entek, Pak." (Gak usah, uangku udah abis, Pak)
"Yo ndakpapa. Kita jajan dulu. Den Ganes arep mangan opo?" (Ya gapapa. Kita jajan dulu. Mas Ganes mau makan apa?)
Bocah itu berpikir keras. Alisnya bertaut-taut. Terjebak di antara rasa lapar dan ngantuk, Ganesha kesulitan membayangkan makanan. Badannya panas dingin, tanda nyata bahwa ia memang kelaparan. Sebetulnya, Ganesha hanya ingin makanan yang ada di meja dapur, masih hangat. Tapi kalau Pak Bagya bersikeras, Ganesha harus memilih. Ia cukup lapar untuk bisa menghabiskan setengah loyang bolu, tapi tidak mau terlalu kenyang sampai tidak ingin makan lagi di rumah.
Sebuah pilihan yang sulit.
"Deket sini ada warung, Pak. Di ujung jalan situ. Siapa tau ada roti," jelas bocah itu dengan harap-harap cemas.
Semoga saja ada roti di sana. Biasanya warung permen seperti itu menjual roti bulat berisi cokelat. Walau tak seenak buatan Bunda, paling tidak roti warung bisa menghilangkan rasa lapar.
"Siap, Den! Meluncur!" kelakar Pak Bagya.
Mereka mengendarai motor bebek dengan pelan menuju ujung jalan. Ganesha mulai merasa tidak nyaman. Tubuhnya basah oleh keringat, tapi rasanya dingin. Tangan dan kakinya gemetar semakin hebat. Cacing-cacing di perut Ganesha berdendang riang, kruyuk kruyuk.
Setelah sekian detik yang terasa sekian jam, motor Pak Bagya akhirnya berhenti. Ganesha antusias mengambil roti cokelat, meski tangannya masih bergetar. Ia bahkan lupa kalau uang jajannya sudah habis. Pak Bagya langsung mengambil tiga roti yang sama dan membayar, Kemudian memberikan kresek berisi roti kepada Ganesha. Bocah itu mengangguk gembira sambil berucap terima kasih.
Bocah itu dengan cepat membuka plastik, lalu melahap isinya dengan cepat. Pak Bagya sampai tertawa melihat polahnya.
"Oalah den... den... kamu laper banget ta..."
Bibir Ganesha membentuk cengiran. Tubuhnya sudah membaik. Gemetar hilang seketika. Terima kasih banyak Pak Bagya!
catatan penulis
halo! ada yang pernah kelaparan sampe gemeter dan keringet dingin gini pas sekolah? aku dulu pernah pas SD (jadi sering pas kuliah hahaha) dan aku inget SD ngerasa gini tuh sedih banget.. ternyata aku bukan cuma lapar, tapi gula darahnya terlalu rendah sampe tubuhnya teriak-teriak dengan gemeter dan keringet dingin.
(aku gak terlalu suka makanan dan minuman manis, mungkin itu penyebabnya)
kalo buat aku, pak bagya ini dulu namanya om karsono, biasa antar jemput pake mobil espass warna biru. apa kabar ya beliau yang setia anter jemput aku sekolah 6 taun :")
kalian apa kabar?
gimana sekolah dan kuliahnya semasa pandemi? atau justru ada yang mengajar juga? boleh dong cerita di sini hehe aku pengen tau keluh-kesah kalian.. tapi kalo boleh tolong cantumin kecamatan/kota tempat kalian tinggal ya..
bisa juga cerita di tinyurl.com/ceritacofight siapa tau nanti ada yang bisa bantu :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...