TUJUH

8K 1.5K 158
                                    

Di dekat rumah Ganesha ada kolam, tidak besar tapi tidak kecil. Cukuplah kolam itu menampung tatanan ekosistem yang terdiri dari beberapa ikan, dua kodok bersaudara, seekor tokek, sepasang teratai dan gerombolan serangga kecil yang melompat ke sana kemari. Tatkala matahari terbenam, kakak-adik kodok bernyanyi diiringi suara jangkrik dan tokek, bak komplotan musisi. Komposisinya amat artistik, kwok kwok kwok krik kwok krik t t t t tokkekkkkkk krik.

Pernah ayahnya mengajak Ganesha mencari sumber suara itu. Kodoknya ketemu, berwarna cokelat dengan wajah buruk rupa. Jangkrik, sulit ditangkap karena berlari-lari. Tokek, kata Ayah, suka bersembunyi di bawah dahan pohon yang jatuh. Bentuknya menyerupai kadal. Mereka berburu tokek dengan senter. Akhirnya mereka dapatkan di dekat pohon, warnanya cokelat berbintik-bintik dengan mata kuning bulat dan garis hitam. Ganesha langsung menjerit geli. Ayah terkekeh. Bukannya menenangkan, pria itu justru berlari mengejar Ganesha dengan tokek di tangan. Di kanan ada tokek, di kiri ada senter. Ganesha langsung lari terbirit-birir sambil berteriak, "Kabuur!!"

Bocah itu melirik kursi di samping. Daritadi Ayah diam saja, sebatas jemarinya saja yang bergerak di atas kertas. Ganesha ingin bertanya, apa mungkin mereka bisa main kejar-kejaran tokek lagi? Meski Ayah sudah pulang dari kemarin-kemarin, Ganesha merasa Ayah masih pergi. Tidak lagi ia diajaknya bermain. Mengajak bicara pun jarang, hanya berpesan hati-hati ketika akan berangkat sekolah.

Ayah seperti patung. Bergerak secukupnya; ketika memegang kertas, makan disuapi Bunda, dan berjalan dengan tongkat. Kayu panjang itu seakan menjadi kaki kedua Ayah yang hilang. Awalnya Ganesha tidak sadar. Di rumah sakit selalu tertutup selimut. Tetapi saat Bunda mengantarkan dengan kursi roda kemarin, Ganesha lihat kaki Ayah kurang satu. Ayah juga tidak bisa melihat, mereka sampai bertabrakan saat Ganesha bermain di rumah. Beberapa jemari Ayah pun bersembunyi, bocah itu tidak bisa menghitung sampai sepuluh.

"Bunda, dari kemarin Ayah pegang buku apa sih?" Ganesha berbisik di telinga Bunda, menunjuk-nunjuk ke arah ayahnya.

"Itu namanya buku braille. Ayah belajar baca huruf braille pake tangan."

"Huruf braille itu apa?"

"Huruf yang bisa diraba. Jadi bacanya pake tangan bukan pake mata. Kamu mau belajar baca huruf braille sama Ayah sama Bunda?"

Ganesha menengok ke Ayah, kemudian kembali ke Bunda. "Emm ... mau, deh. Tapi aku mau main bola dulu."

Bertepatan dengan itu, terdengar panggilan keras dari luar. "Ganees! Dolan yook!"

Yang dipanggil belum sempat ambil sandal dan sepeda, tahu-tahu Bunda sudah membukakan pintu depan dan mengajak temannya masuk. Fauzan dan Ahmad berlari terkikik, mengobarkan semangat yang sedikit terlalu tinggi dibandingkan rata-rata anak kelas 1 SD. Sungguh, mereka bertiga bak tiga bocah kembar hiperaktif semenjak sadar punya idola yang sama; Captain Tsubasa si dewa sepak bola. Mungkin Fauzan dan Ahmad kini membayangkan sedang salto di udara atau melakukan tendangan jarak jauh, sementara Ganesha adalah wasit.

"Ayok dolan!" Ganesha membalas semangat, senyumnya merekah di hadapan dua sohibnya.

"Dik Ahmad sama Dik Fauzan mau kue?" tawar Bunda.

"Ndak, Tante. Kita mau dolan!"

Kemudian melesatlah trio poni lempar itu dari kediaman Bapak Gatot. Suatu hari nanti, mungkin Ganesha akan sadar, pertemanan mereka sedikit banyak mirip grup musik di kolam dekat rumah: si Kodok, si Jangkrik dan si Tokek. Landasannya hanya kesamaan hobi.

Sepeada mereka melaju dengan kecepatan santai, menyusuri jalanan berbatu yang beberapa sisi masih berlapiskan tanah. Sore-sore paling enak untuk main. Matahari menerangi tapi tidak menyakiti, awan-awan berebut melindungi, dan angin bertiup dengan murah hati. Ganesha bisa merasakan sejuknya udara yang dikelilingi pepohonan hijau. Kebetulan tadi siang hujan, sehingga udara bukan hanya sejuk, namun juga wangi.

Tak lama, hamparan rumput hijau yang gundul di tengah pun muncul. Di pojoknya sudah ada bola hitam-putih yang tadi ditinggal Ahmad dengan sengaja. Sebuah gawang menanti di dekat Pohon Meranti. Burung bersiul sahut menyahut, berburu bekal untuk pulang ke rumah. Hujan yang baru usai membuat tanah merah di tengah basah, pasti licin juga. Meski begitu, buat tiga anak SD, hal itu bukan masalah. Paling hanya berujung omelan panjang ibu mereka yang kelimpungan mencari solusi efektif menghilangkan noda. Kalau sudah begitu, Ganesha biasanya cengengesan sambil beralasan, "Berani kotor itu baik."

Mereka memarkirkan sepeda di lapangan merah. Selain warna hitam, merah dan hijau sepeda, lapangan masih kosong. Yang lain-lain belum datang. Biasanya jam segini sudah ramai, pesertanya anak TK sampai SMP. Kadang, ada yang perempuan juga, main rumah-rumahan dan masak-masakan di dekat pohon.

"Ganes," panggil Fauzan.

"Iya?"

"Bapakmu kenapa e?"

"Sakit."

"Sakit apa? Kok kulitnya medeni?" (Sakit apa? Kok kulitnya menyeramkan?)

"Iya iii aku takut!" sahut Ahmad.

Sejujurnya Ganesha juga takut. Namun mendengar temannya bilang seperti itu, ia mendadak ingin mogok main bola. Ketika datang ke rumah sakit terakhir kali, Ganesha bertemu adik kecil yang takut sampai menangis. Ganesha jadi ikut takut, entah kepada siapa, lalu berlindung di balik Bunda.

Bocah itu limbung. Amat banyak yang terjadi sejak Ayah jatuh. Namun semua terasa aneh, dan semakin lama semakin membingungkan. Ia tidak paham mengapa wajah Ayah berubah. Mengapa warna kulitnya bermacam-macam. Semakin tidak paham karena Bunda bilang Ayah sudah sembuh. Jika memang sudah sembuh, kenapa masih seperti itu?

"Nes?"

"Kata Bunda, Ayahku kebakar di dalem pesawat."

"Kebakar api?"

"Iya."

"Ayahmu kok kebakar di dalem pesawat?"

Ganesha mengangguk. Ia teringat mainannya yang dibawa pergi. Yang bisa terbang akrobatik. "Ayah pilot. Me-nerbang-kan pesawat Fokker."

"Berarti habis ini me-nerbang-kan pesawat lagi?"

"Ndak tau." Waktu itu ia tanya Bunda tidak dijawab.

"Kok ndak tau?"

"Iih! Ndak tau ya ndak tau!" teriak Ganesha. Kakinya yang kini bertambah panjang berlari ke sepeda yang terparkir. Tanpa menoleh, bocah itu menggowes benda roda dua miliknya secepat mungkin menuju rumah. Air matanya menetes, tanpa ia pahami mengapa. Pokoknya Ganesha ingin segera pulang.

Rumah bernuansa abu-abu semakin lama semakin besar. Ganesha semakin ganas mengayuh, walau pandangannya buram pada level berbahaya. Bocah itu berhenti di depan pohon besar, melemparkan sepeda di depan ayunan buatan Ayah.

Segera ia menghambur ke teras, melompati dua anak tangga sekaligus, kemudian mendobrak pintu. Begitu melihat Ayah masih duduk di kursi dengan tumpukan kertas putih-kuning, ia tak tahan lagi.

"Ayah, kok Ayah kayak gini, sih? Semuanya takut liat Ayah! Aku juga takut!" cecarnya dengan suara serak.

Tidak ada balasan dari kursi belajar yang diterangi cahaya temaram.

Ganesha mengusap wajahnya kasar. Ia kesal. Sejak pulang Ayah tidak pernah menjawab. Bocah itu menghambur ke kamarnya, lantas membanting pintu.

Dari kamar, ia tidak melihat Bunda berlari tergopoh-gopoh dengan jemuran di tangan, berusaha membuka kamar Ganesha tanpa hasil. Anak semata wayangnya mengganjal pintu dengan kursi dan kotak mainan sebelum akhirnya tertidur sambil memeluk guling yang basah.

Batinnya bertanya-tanya, "Memangnya Ayah tidak mau jadi pilot lagi?"

Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang