Lagi-lagi gelap. Bulan pelit sinar, sebatas pepohonan bambu saja yang ditampakkan. Kanan kiri ditengok; bukannya menenangkan, justru makin liar imajinasi Ganesha. Seluruh tubuh bocah itu mengerut. Bulu kuduknya meremang. Kemarin ia sudah ke sini. Mengapa harus kembali?
"Ayo, Le," panggil Bunda. Bocah itu terpaksa mempercepat langkah kakinya.
Mereka mau ke apotek. Katanya ada apotek yang buka 24 jam. Ganesha tidak tahu di mana, namun ia tahu gang yang mereka lewati kini banyak penunggunya. Tiap maghrib, pulang mengaji, ia dan teman-teman selalu berlari terbirit-birit. Sebab, bapaknya Fauzan pernah bertemu sosok perempuan berbaju putih di gang ini. Rambutnya panjang, wajahnya cantik namun pucat. Suasana baru mencekam saat cerita sampai ke bagian kaki; jarak kaki si cantik terlalu jauh dari tanah. Kata Fauzan, namanya Mbak Kunti. Gara-gara cerita itu, tiap Ganesha lihat warna putih, dadanya mengeluarkan suara dug dug dug yang keras. Kedua tangan dibuat basah, lembab berkeringat. Terbayang Mbak Kunti sedang tersenyum manis, duduk di atas pohon sambil mengamatinya
"Le ayo, Le," panggil Bunda lagi.
Bocah itu berlari kecil. Bunda cepat sekali. Disambutnya tangan Bunda yang terbuka. Tapi kok, ada yang aneh? Seingat Ganesha, tadi Bunda mengenakan gamis merah jambu. Kenapa warnanya jadi putih?
"Bun? Kok tangannya dingin?" Bocah itu masih sibuk mengawasi sekeliling. Hitam tak apa, asal jangan lihat putih, pikirnya.
"Dingin gimana, Le?"
Perhatian Ganesha akhirnya teralih dari gang gelap menyeramkan. Diamatinya tangan Bunda dengan mata memicing. Cahaya terbatas, bocah itu tak melihat sesuatu pun yang mencurigakan. Namun, suhunya terlalu rendah, jemari Ganesha jadi ikut dingin.
"Ya ... dingin." Bocah itu mengangkat kepalanya. Kerudung putih tak didapat, malah menemukan rambut hitam panjang membingkai wajah pucat tak dikenal.
Bagai tersetrum, buru-buru Ganesha lepaskan genggamannya. Wanita cantik di hadapannya tersenyum. Giginya tajam-runcing seperti drakula. Ganesha ingin segera lari, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak.
"Mereka di sana, Le," kata wanita itu, menunjuk di kejauhan.
Lima laki-laki berdiri melingkar. Meski gelap, bocah itu paham di tengah mereka ada semburat merah jambu bergerak-gerak.
"Ayo, Mbak Kunti bantu," tawarnya.
Ganesha ingin lari. Ingin menangis juga. Kantong kemihnya juga sepertinya akan segera meledak. Akan tetapi, sehelai sarung tetiba muncul di tangan kanannya. Secara ajaib, peci putih duduk di atas kepala Ganesha. Bocah itu kebingungan, namun Mbak Kunti sudah keburu melayang.
"Hiyaa!" teriak wanita itu. Sebelah kakinya terangkat, mirip tendangan karate yang Ganesha pernah lihat.
Entah mengapa, Ganesha pun ikut berlari, mengeluarkan segala jurus yang pernah ia lihat di televisi.
::: o :::
Mata Ganesha terbuka. Napasnya tersengal. Tubuhnya basah. Lagi, ia mencoba melihat sekeliling. Masih gelap. Meski begitu, ia mengenali kamarnya. Dengan rasa takut yang sedikit berlebihan, bocah itu berlari tunggang langgang keluar kamar.
"Bunda!" teriaknya sekuat tenaga.
Bocah itu panik. Bunda tidak tampak di ruang keluarga. Ia pun berlari ke kamar. Di dalam terang, berarti Ayah dan Bunda sudah bangun. Tapi keduanya tidak terlihat. Tanpa menutup pintu, Ganesha berbalik arah. Kaki kecilnya menuju dapur. Tap tap tap, lompati undakan, belok kanan, lompat lagi, lalu berlari kecil. Sesampainya di sana, ia mengembuskan napas lega. Benar saja, Bunda sedang mengaduk sesuatu di panci. Baunya wangi.
"Bunda!" Bocah itu menghambur ke kaki Bunda, memeluknya erat.
"Eh, anak Bunda sudah bangun, ya..." Bunda membalas pelukan Ganesha, kemudian mengajaknya duduk di meja makan.
"Bunda kenapa?"
"Kenapa apanya, Sayang?"
"Kemarin, waktu kita ke apotek-"
"Hush. Udah, jangan diinget lagi. Bunda gapapa."
"Tapi, kan-"
"Sudah, Le. Sini tunggu ya, Bunda lagi bikin sarapan."
Ganesha ingin membantah. Tapi ia takut Bunda berubah jadi Mbak Kunti lagi. Jadi bocah itu menurut saja, walau kakinya bergerak-gerak gelisah di bawah meja.
"Iya, Bunda."
Sebetulnya, Ganesha pun tidak ingat apa yang terjadi. Mereka ke apotek, jalanannya gelap, kemudian ada banyak laki-laki. Salah satu dari mereka menghampiri Ganesha, menyebabkan nyeri di dada dan bokongnya. Habis itu, bocah itu ingat terbangun di masjid. Pak Ustadz tersenyum, menanyakan kabarnya, lalu mengajak sembahyang bersama. Bunda pun tersenyum di sampingnya. Matanya merah, tapi senyumnya tetap sama. Tak lama, suara adzan terdengar. Mereka salat, membeli obat, habis itu pulang bersama Pak Ustadz.
Namun, ia masih merasa ada sesuatu yang salah. Semua laki-laki yang kemarin menakutkan, bahkan lebih seram dari Mbak Kunti. Bocah itu jelas tak mengerti mau mereka, tapi ia amat yakin kalau mereka jahat. Ia ingat Bunda berteriak minta tolong.
Lain kali, kalau ada orang jahat lagi, Ganesha ingin bisa menolong Bunda. Ganesha tidak mau tertidur di jalan lagi.
"Bun?" panggil Ganesha.
"Iyaa?" sahut Bunda dari dapur.
"Aku mau belajar karate, ya!"
"Apaa?"
Ganesha turun dari kursi, lalu berlari ke dapur.
"Aku mau belajar karate di sekolah, Bun."
"Ooh. Iya, boleh. Nanti kita daftar ya, Le," jawab Bunda.
"Asyik! Makasih Bunda!" Teriak Ganesha antusias. Bocah itu memeluk ibunya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Sudah Besar, Ganesha Mau Jadi Apa?
General Fiction"Ganesha, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" Ganesha bingung, kemarin gurunya juga menanyakan hal yang sama. Apa memang orang dewasa suka menanyakan hal itu? Kemarin Ganesha menjawab ingin jadi presiden, karena presiden fotonya selalu dipajang d...