3rd.

914 122 26
                                    

Seokjin meletakkan cangkir americano panas. Itu sudah yang ketiga, ngomong-ngomong.

"Terima kasih, Sweetie."

Seokjin menghargai panggilan manis itu, tapi sungguh. "Um, soal itu ...."

Namjoon menurunkan satu kakinya. "Kamu tidak suka?"

"Tidak juga, tapi aku laki-laki. Tidak cocok dipanggil demikian."

Cowok itu mengangguk. Mereka kebetulan di jam istirahat, jadi Seokjin bisa berdiri lebih lama di dekat si pelanggan kelas kakap itu.

"Maaf, tapi kamu memang manis." Seokjin ingin menampar wajahnya dengan nampan di tangan, tapi terlalu sayang.

Wha—wait!

"Boleh temani aku sebentar? Sedang jam makan siang, bukan? Atau, kamu ingin pergi keluar? Ayo, kutemani."

"T-tidak perlu. Aku di sini saja. Tidak biasa makan siang di luar." Seokjin menarik kursi di hadapan Namjoon. Memangku nampannya. "Jadi, ada apa? Dari tadi aku melihatmu melamun ke arahku, uh, maksudku, aku tidak sengaja selalu mendapatimu melihat ke arah sana. Jadi ...."

"Apa aku sudah mengganggu?"

Seokjin menggeleng. "Tidak. Hanya, sedikit membuatku ... grogi."

Namjoon tertawa kecil. "Maaf. Aku terlalu terpesona melihatmu bergerak lincah di balik mesin itu, dan puff! Kamu seperti pesulap yang bisa memunculkan semua minuman cantik itu dari sana."

Seokjin mendengkus. "Tidak begitu. Semua ada prosesnya. Bukan langsung muncul. Aku hanya beruntung diajarkan Hoba dan segera bisa."

"Benarkah? Dulu kamu bukan barista?" Namjoon melipat tangannya ke atas meja, antusias dengan kentara.

"Bukan. Aku kerja sambilan sebagai pelayan saja. Atasanku yang terlalu baik, meminta Hoba mengajariku, dan beginilah."

Namjoon mengangguk. "Kamu memang berbakat."

"Tidak. Kau terlalu memuji."

"Uh-huh. Kamu punya selera yang bagus. Membuat secangkir kopi terlihat mudah, tapi sesungguhnya tidak. Americano ini buktinya. Bisa kubedakan mana buatan Hoseok, mana buatanmu." Seokjin mengerjap, mendengarkan, "punya Hoseok terasa light saat pertama menyentuh lidah, dan perlahan heavy begitu turun ke tenggorokan. Sepintas lewat saja. Sedangkan milikmu, light dan manis pada awalnya, perlahan dengan lembut berubah heavy, tapi tertinggal kuat di dalam mulut masih dengan rasa manis lembut. Tidak berlebihan, tapi cukup. Saat menelannya, aku masih bisa merasakan kelembutan sampai ingin terus kucari. Taste yang kamu berikan, sangat candu. Dulu aku hanya menghabiskan dua cangkir sehari, kalau boleh jujur," jelasnya.

Seokjin menatap pot mungil imitasi di meja. Berusaha menghindari pandangan kagum di depannya.

"Um. Itu terlalu berlebihan. Resep yang kupakai dari Hoba juga."

"Ya, memang, tapi taste kalian berbeda."

Seokjin tengadah memberanikan diri menatap lagi. "Apa ... kau expert kopi atau sesuatu semacam itu?"

Namjoon tertawa. "Aku hanya terlalu suka kopi. Itu saja."

"Kenapa?"

" 'Cause it's the only drug that allow," ucapnya menumpu dagu dengan tangan kanan, menelengkan kepala, "and i thinking it now, not the only one anymore."

Seokjin mengernyit, ikutan menelengkan kepala tanpa sadar.

"I wonder if you allow, Seokjin."

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang