Hari itu Seokjin terbangun lebih siang. Kejadian semalam membuatnya sedikit sulit tidur. Alhasil, setelah mandi, Seokjin hanya memanaskan kentang goreng dan daging asap sebagai makan siang. Tidak sempat memasak odeng instan yang dibeli dua hari lalu. Perutnya terlanjur cerewet minta diisi.
Dalam keheningan Seokjin makan dengan tenang. Tidak buru-buru seperti biasa saat hendak kerja. Berhubung tidak ada lagi televisi, satu-satunya hiburan hanya menatap jendela dan melihat langit. Juga sesekali mengecek ponselnya.
Seokjin jadi ingat bagaimana Namjoon mendadak harus pergi semalam. Itu suatu keberuntungan karena Seokjin tidak harus berlama-lama menatap pria itu setelah kelepasan menyatakan perasaan.
Jika diingat lagi pertanyaannya, Seokjin sudah siap memutar leher Namjoon sampai patah. Bisa-bisanya dia tidak peka? Sudah memanggil dengan nama manis, menolongnya dari Derick sambil memeluk mesra sampai dengan melunasi hutang, juga selalu bersikap hangat penuh senyum begitu. Bagaimana Seokjin tidak menyukainya? Seokjin juga manusia berperasaan. Bukan batu. Diberi perhatian sebegitunya, tentu saja bakal merasa istimewa.
"Hh ...." Seokjin mendesah sambil mengunyah. "Kalau nanti ketemu, aku harus bilang apa? Untung saja dipanggil pulang oleh entah siapa itu. Setidaknya, sekarang aku diberi waktu mencari alasan, bukan?"
Ponsel Seokjin bergetar, ada pesan masuk. Meraihnya, Seokjin mengerjap. Panjang umur. Dia yang baru dipikirkan, muncul di benda pipih pintar itu.
>>Good day, sweetie. Apa aku mengganggu? Kamu sudah bangun?<<
Seokjin meletakkan garpunya. Mengetik jawaban.
>>Sudah. Aku bangun telat. Ada apa?<<
Setelah menunggu beberapa detik, jawaban Namjoon membuatnya menggaruk kening.
>>Soal kemarin itu.<<
Mampuslah dia.
Seokjin memutuskan pura-pura bodoh. Terserahlah.
>>Yang mana?<<
>>Itu.<<
Tuh, 'kan? Lewat pesan saja sudah canggung, apalagi bertemu langsung? Untung saja Namjoon tidak memutuskan berteleport atau apalah itu untuk bertanya dan malah menghubunginya lewat pesan.
Seokjin teringat sesuatu. Buru-buru dia mengetik sebelum Namjoon melanjutkan.
>>Oh, ya, Namjoon. Aku masih belum tahu, apa yang sudah kau lakukan pada hutangku ke Derick. Kau apakan ponselnya kemarin?<<
>>Ah, itu. Aku lupa bilang, kalau aku juga bisa memanipulasi angka. Itu sihir, tentu. Aku mengacak beberapa digit dari rekeningnya dan menggantinya. Menambah, tenang saja. Aku jujur melunasi. Uang bukan sesuatu yang perlu kupusingkan. Karena, toh, aku bisa menariknya dari mesin mana pun, dan legal. Tentu saja.<<
>>Wah. Serius. Namjoon. Apa kau bahkan punya batas? Kekuatanmu ini, mulai membuatku waspada. Seandainya kau musuh, aku bisa habis.<<
>>Astaga, sweetie. Tenang. Aku punya batas, tapi itu hal yang tidak perlu kamu khawatirkan. Selama aku di sisimu, kamu aman.<<
>>Tidak darimu, kurasa.<<
>>Oh, well.<<
Seokjin menunggu lanjutan, tapi Namjoon tidak kembali membalas. Astaga. Kalimat Seokjin benar!
Apa dia harus takut pada pria tampan kelebihan tenaga magis itu?
Lalu, mendadak ponsel pun bergetar. Seokjin nyaris melempar benda pipih itu saking cepatnya meraih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Drugs That Allow | NJ ✔
Science Fiction[ BTS - NamJin ] [slight - TaeJoon/JoonTae] Keinginan Seokjin sederhana, hanya ingin kerja sambilan sebagai pembuat kopi. Namun, siapa sangka dari situlah dia menemukan seseorang yang membuatnya berdebar seperti pecandu? "Kurasa bukan hanya kopi, t...