8th.

749 112 31
                                    

Selama bekerja sebagai barista, Seokjin hanya dipanggil ke kantor atasannya sebanyak tiga kali. Entah itu saat pertama diwawancara, pengenalan struktur karyawannya atau menegur secara pribadi saat ada kesalahan yang kebetulan langsung dilihat pemilik.

Hari itu, Seokjin kena kategori ke tiga. Dalam bulan ke empatnya bekerja. Di depan meja Becca, Seokjin hanya menatap tangannya yang bertaut di lutut. Bingung harus mulai dari mana.

"Baik. Honey, kau sebaiknya punya alasan sendiri atau aku akan menjabarkannya untukmu." Becca menutup laptop di depannya dan mentautkan jemari, menatap lurus Seokjin yang masih tertunduk. "Seokjin, hon? C'mon."

Dengan enggan Seokjin tengadah. "Iya, ma'am. Maafkan aku."

"Tidak sesederhana itu." Becca memajukan diri. "Kau cemburu, 'kan?"

"Um."

Seokjin memutar kembali apa yang dilihatnya pagi ini. Namjoon datang dengan setelan keren seperti biasa. Bahkan, mengedipkan sebelah mata begitu masuk cafe dan menyapa ke depan meja barista. Sengaja memesan sekalian bertegur sapa dengan Hoseok alih-alih terlalu kentara menemui Seokjin. Sebelumnya, mereka kembali makan malam saat Namjoon selesai mengurusi 'tamu' anomalinya dan membantu organisasi dengan segala tetek bengeknya. Dia juga bercerita bisa meninggalkan kota itu selama sebulan hanya untuk tugas yang sama, jika diperlukan. Itu sebabnya Seokjin baru melihatnya setelah melamar jadi karyawan tetap. Namun, obrolan ringan itu, tidak membuat salah satu dari mereka mengajukan sesuatu soal 'pacaran' atau semacam itu, berhubung sudah saling mengungkapkan perasaan. Entah soal Namjoon, Seokjin sendiri  belum yakin untuk meminta duluan karena masih malu melakukan gerakan agresif. Oleh karena itu, Seokjin mengira, pertemuan mereka esoknya akan membuahkan sesuatu soal hubungan, tapi malah Namjoon kembali dipanggil organisasi sampai akhirnya Seokjin masuk cafe lagi.

Dan, begitulah. Bukan kabar baik, sebaliknya. Seokjin yang baru selesai mengantarkan pesanan, harus kaget karena seseorang datang mengekor Namjoon kemudian. Pemuda menawan dengan setelan sama keren, tapi raut yang dingin. Ketika Seokjin menanyakan pesanan pun, dagunya terangkat jumawa. Hanya melirik dan mengucap singkat menu yang diinginkan. Kalau bukan karena kedipan Namjoon juga segera harus membuatkan pesanan, Seokjin mungkin akan tetap di sana berdiri.

Soalnya, wajah kaku itu langsung mengulas senyum saat menatap Namjoon. Sengaja menyentuh rambut indah ash blonde itu malah. Sedang Namjoon? Ikutan tersenyum! Iya! Senyum hangat lesung pipi itu, demi dewa!

Bagaimana—

"Kim Seokjin."

Yang punya nama terkesiap. Becca menopang dagunya bosan, tapi tatapan wanita itu tajam.

"M-maaf, ma'am. Aku ...."

"Kalian sudah resmi kekasih?"

Seokjin meremas jemarinya lebih keras, menggeleng. "Belum."

"Kenapa? Dia jarang suka orang sampai segitunya." Seokjin mengerjap, Becca menghela. "Dia berisik menanyakan padaku soal dirimu. Kubilang, ya, tanyakan sendiri ke orangnya. Kalian jadi sering bertemu, bukan?"

Seokjin mengangguk. "Tapi, dia tidak bertanya macam-macam."

"Pria memang begitu kalau sudah jatuh cinta. Kalau kau tidak dilihat, dia cerewet mencari dan bingung harus berbuat apa untuk menyenangkanmu. Giliran ada di depan mata, hanya melamun menatapmu seperti orang bodoh."

"Kurasa dia hanya mengagumi."

Becca mendengkus. "Yakin?"

Seokjin ingin mengelak pernyataan Namjoon di dekat jendela flat waktu itu sebagai candaan, tapi tidak juga. Lalu, bagaimana menjelaskan sikap Namjoon dengan ... dengan siapa pun itu tadi? Mereka tampak akrab, bahkan entah apa lagi sekarang di luar sana saat dia sedang diadili atasan.

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang