6th.

793 119 47
                                    

Seperti dê javü, situasi dalam flat sederhana Seokjin dengan tamunya yang duduk di seberang bersandar ke dinding dengan beberapa kudapan ringan di antara mereka, membuat suasana lebih intim dan hangat. Seolah sudah jadi keharusan.

Seokjin sebenarnya tidak enak, karena menjamu hanya beralaskan lantai dingin, tapi tamunya selalu berhasil membuatnya tersipu.

Aku selalu nyaman jika di dekatmu, tenang saja, sweetie.

Begitu katanya. Seokjin hanya bisa memendam rasa meleleh nyaman di dadanya sembari juga duduk melipat lutut ke perut. Berusaha bersikap biasa walau tidak seperti itu adanya. Sapaan manis padanya seperti jadi kesukaan Namjoon, toh, maksudnya bukan mencela jadi, Seokjin tidak lagi protes mendengarnya.

Kembali ke keadaan sekarang, mereka sudah saling tatap dalam jarak aman. Seperti, entah bagaimana sepakat seperti itu, seolah akan ada yang memulai duluan untuk sesuatu dan lainnya sudah bersiap.

Uh, wait, what?

"Aku masih bisa menunggu, tapi kamu sepertinya tidak," tegur Namjoon membuyarkan lamunan Seokjin.

"Eh? Huh? Aku kenapa?"

"Aku baru sadar, ini sudah menjelang tengah malam. Kamu pasti lelah setelah bekerja seharian. Besok pun harus kembali, jadi ...."

Seokjin menggeleng. Tangan kanannya ternyata menangkup sebotol susu pisang kesukaan sedari tadi. "Jangan khawatir. Aku tidak begitu lelah."

"Tetap saja."

"Ma'am bilang kami off besok sampai hari minggu."

"Benarkah?"

Seokjin mengangguk, kembali meneguk susunya.

"Baiklah kalau begitu. Kamu mau aku mulai dari mana?"

Seokjin mengerjap, menelan lelehan manis di mulut sebelum menjawab, "Yang tadi itu. Bagaimana caramu mendadak ada di sana dan meninju orang sampai terbang? Kau punya kekuatan super?"

Namjoon tertawa, lesung pipinya tidak pernah gagal membuat perut Seokjin nyaman. Dia tampa sekali.

Seokjin menampar keningnya imajinatif.

"Aku bukan manusia super."

"Lalu? Itu tadi bukan bakat manusia biasa, Namjoon. Aku sampai sulit menurunkan lenganmu. Keras sekali." Seokjin kemudian sadar dua kata terakhir, dan wajahnya panas. Dia menyeruput susu di tangan sebagai pengalihan.

"Um. Baiklah. Mungkin, aku memang sedikit lebih kuat dari pada manusia normal. Karena, memang sekarang aku adalah anomali."

Seokjin mengabaikan sedotan di bibir. "Anomali?"

Namjoon mengangguk. Lengannya terlipat di dada, pamer otot lagi dan Seokjin tidak keberatan sama sekali. Posturnya kini tegap saat melanjutkan.

"Anomali yang terjadi tanpa kuminta. Sebelumnya, aku sama sepertimu. Menjalani kegiatan sehari-hari dengan kesibukan monoton, tapi kemudian tidak pernah kuduga itu semua bakal berubah selamanya."

"Apa ... yang terjadi?"

"Aku tidak ingat pasti, mungkin aku juga sengaja disihir lupa, sebelum menurunkan yang berikutnya."

"Sihir?"

"Ya, seperti yang kulakukan pada pria tadi."

Seokjin berpikir. "Tapi, tadi aku juga melihatmu. Kenapa aku tidak lupa?"

Namjoon tersenyum. "Aku tidak menatapmu langsung dan bukan untukmu juga." Seokjin bergumam paham, kemudian Namjoon melanjutkan, "ada segelintir hal yang selalu melintas dalam mimpiku, entah itu berkaitan atau tidak, nyata atau bukan, tapi rasanya seperti ingatan. Saat itu aku sangat putus asa. Kutemukan diriku berada di tempat berkabut, seolah dalam ilusi lalu suara itu muncul. Membuatku lupa, kemudian memintaku 'bersiap', dan detik berikutnya tahu-tahu aku sudah di rumah sakit dengan tidak seorang pun tahu, siapa diriku."

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang