9th.

665 110 31
                                    

Hari itu Seokjin pulang sedikit lebih larut karena membantu Hoseok mengecek persediaan. Tidak tega dirinya meninggalkan cowok baik itu. Dulu dia sudah diselamatkan dari Derick, juga diberi kesempatan kerja, Seokjin banyak hutang budi. Jadi, tinggal lebih lama tidak jadi masalah.

Seokjin berjalan pulang dari antaran Hoseok di perempatan. Arah rumah mereka berlawanan, jadi tidak enak jika meminta Hoseok lebih lama lagi pulang karena mengantar Seokjin.

Sementara menelusuri trotoar yang penuh sampah daun kering, Seokjin menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Namjoon, padahal tadi cowok itu berkata mau menjelaskan, tapi sampai dia pulang, tidak ada kabar. Nyeri tidak enak kembali menjalari dada Seokjin. Enggan dirinya berpikir yang tidak-tidak, tapi selalu saja hal negatif itu melintas.

Mengalihkan topik, kalimat Becca yang muncul kemudian, seolah menghantuinya. Bisa saja itu berarti Seokjin harus siap pada apa yang akan terjadi ke depannya, atau bisa juga berarti hal lain.

... semoga kau tahan banting. ...

Apa seperti artian secara harafiah? Apa Namjoon suka memban—oh.

Rasa panas menjalar ke wajah Seokjin sampai dia berhenti berjalan. Apa maksud Becca soal hubungan badan? Tapi, tunggu. Kenapa sampai wanita itu tahu? Jangan-jangan mereka sungguhan mantan seperti kata Hoseok?

Tidak. Tidak. Semua karyawan cafe tahu, Becca tidak suka laki-laki, walau pun dia biseksual. Jadi, tunggu, apa mungkin ....

Seokjin teralihkan suara keretak ganjil di seberang. Dia memelan sesaat, dan berpikir mungkin itu hanya tupai, jadi langkahnya dilanjutkan.

Bunyi itu kembali. Lebih jelas.

Seokjin tercenung kali ini ke arah sesemakan pohon gundul di sana. Penerangan jalan kurang mencapainya, jadi terlihat gelap. Alarm waspada berbunyi nyaring di kepala, tapi masih dalam batas wajar. Seokjin merapatkan coatnya, dan kembali berjalan. Menghibur diri jika jarak lima ratus meter di depan bukan apa-apa. Tinggal sedikit lagi.

Namun, bunyi derak ranting patah berikutnya berhasil membuat langkah Seokjin lebih cepat. Sialnya, sepanjang mata memandang, tidak ada satu pun orang lewat. Lupa jika sudah tengah malam. Sekali lagi dirinya melirik ke sana, ke sisi jalan yang gelap tadi, kemudian seketika Seokjin menabrak sesuatu yang keras sampai membuatnya mundur.

Sekujur tubuh Seokjin seolah beku. Sosok di hadapannya bergeming. Entah muncul dari mana. Mirip manekin, tapi dengan tulang-belulang yang menonjol, berkepala botak, wajah rata, dan tingginya lima meter. Seluruh tubuhnya ditutup kulit hitam pekat. Seokjin harusnya lari dan bukan hanya diam, tapi kakinya mati rasa.

Namjoon pernah bilang. Apa pun, yang tidak wajar, adalah anomali. Baik atau buruk. Entah seberuntung apa Seokjin sekarang.

Kemudian, perlahan sebuah sobekan muncul di wajah itu mulai dari sisi kiri wajahnya. Bunyi koyak daging robek di wajah datar itu sangat jelas di keheningan. Membuat Seokjin bergidik. Torehan panjang dari satu sisi ke sisi lain itu mendadak terbuka dengan liur lengket. Seokjin tidak bisa mengalihkan perhatian seolah menunggu apa yang akan terjadi karena dalam belahan yang mungkin mulut itu, tidak apa pun terlihat selain hitam pekat. Ada sesuatu yang membuatmu hanya menatap ke sana tanpa sadar. Seokjin seperti terhipnotis untuk diam menunggu.

Lalu, begitu saja sesuatu melompat ke dada Seokjin, menempel di dada coatnya. Seokjin reflek menariknya kaget, tapi lalu benda serupa agar-agar itu memunculkan dua mata bulat hitam kecil yang berbinar. Ukurannya simetris dengan tubuh yang hanya segenggaman tangan. Benda atau makhluk lunak itu mengingatkan Seokjin akan jus jeruk yang dibuat seperti puding, tapi kelebihan lembek. Rasanya dingin saat ditangkup ke telapak tangannya.

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang