1st.

1.5K 153 51
                                    

Seokjin menyapa atasannya ketika memasuki cafe. Sudah ada Park Jimin di kasir dan Jung Hoseok yang merapikan pajangan. Mereka menatapnya dengan heran.

"Ada badai lokal atau bagaimana?" celetuk Jimin, Hoseok mendekatinya untuk memberi tamparan lengan.

"Ambil alat pel sana," perintahnya, Jimin memandangnya tidak percaya.

Seokjin menunduk-nunduk minta maaf lagi. Atasannya, Becca, dengan baik memberikan sebuah handuk kecil. Seokjin diminta segera ke ruang ganti dan segera membantu yang lain.

"Awal hari yang berat?"

"Entahlah, Ma'am. Aku padahal baru membeli sweter ini kemarin. Salah lewat jalan mungkin." Seokjin mendesah panjang melihat rajutan putih yang dikenakannya sudah jadi cokelat jelek. Pasti bakal menghabiskan banyak sabun nanti. Ugh.

"Asal jangan menekuk muka di depan pelanggan, ya? Kupukul pantatmu nanti," tambah Becca seraya melakukannya. Seokjin mencelat, sebelum melihatnya berlalu pergi.

Wanita itu memang baik, tapi kebiasaannya menyentuh semua pegawai di sana, sedikit mengkhawatirkan, tapi kalau ditanya ke Jimin atau Hoseok, mereka biasa saja. Selain cantik dan nyentrik karena suka ganti-ganti warna rambut, wanita itu memang baik. Dan, abaikan tato yang memenuhi lengan kanannya, juga tindik yang nyaris menutup telinga di sisi yang sama.

Seokjin masih kurang paham pada penjelasannya soal, hanya boleh mengotori satu sisi. Setiap kali melihatnya, Seokjin hanya berpikir, apa alasan setiap tindikan juga goresan seni itu.

Seokjin menggeleng. Bukan itu yang harus melintasi kepalanya saat ini. Dia bergegas mengganti baju dengan kaus putih polos berlogo inisial nama cafe tempatnya kerja. Sedikit kebesaran, tapi itu jauh lebih baik dari sweter dekil yang dilipatnya ke dalam kantung kain dan disimpan ke loker. Untung celana jinsnya selamat. Nanti, sepulang kerja dia akan mampir membeli deterjen lagi. Demi apa, bahan putih begitu pasti susah hilang.

Seokjin menghela panjang. Harusnya tadi dia mengikuti insting untuk menempuh jalur biasa. Semua gara-gara terlambat dan mimpi konyol itu.

Mimpi bakal ada seseorang dengan sayap besar menculiknya dan membawanya pergi jika menunggu di halte bis yang biasa. Itu konyol, bukan?

Sekitar sepuluh menit kemudian, Seokjin dengan bersalah meminta alat pel dari Jimin, tapi cowok yang baru semester satu itu menolak. Dengan baik meminta Seokjin ke balik meja bartender saja, melakukan rutinitasnya.

"Nanti kutraktir makan siang, ya?"

Pipi gembul Jimin merona. "Tidak perlu, kak. Aku ada janji dengan seseorang."

"Oh?" Jimin menggulum senyum malu. Seokjin tidak tahu kalau anak itu sudah berhasil mengejar pujaannya. "Kenapa tidak bilang? Jadi, sebentar dia datang ke mari?"

"Iya. Nanti kukenalkan, ya? Katanya mau bawa teman. Siapa tahu selera kak Seokjin." Jimin memeluk tongkat pelnya dengan menaik-turunkan alis.

Seokjin menepuk lengannya, dan berpaling menuju balik meja panjang. Hoseok mencolek lengannya untuk mengingatkan kalau belum memakai celemek. Seokjin berterima kasih padanya. Meraih sebuah kain merah muda pastel dengan tulisan indah 'barista' pada ujung atas bagian kiri.

"Apa yang terjadi? Disiram nenek-nenek yang sedang menyiram bunga atau kau memang cari masalah sama tetangga?" Hoseok menumpuk kotak-kotak kopi baru ke atas rak, celemeknya berbeda karena dia manager. Hanya pada bagian pinggang ke bawah, dan sematan emas di dada.

Seokjin mendengkus. Aroma biji-biji kopi yang dituangkan ke wadah, membuatnya kembali tenang. "Entah. Tahu-tahu kena siram. Aku masih pencinta kedamaian, ya? Tapi, rasanya tadi sudah menyalahi insting, jadi mungkin karena itu kena imbas."

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang