Diam dan mendengarkan apa yang diucapkan oleh wali kelas setelah gadis itu memperkenalkan diri, memperhatikan tingkah laku teman-teman sekelas karena mareka sedari tadi menatapnya tanpa henti. Apa ada keanehan sampai-sampai mereka tidak mau mengalihkan pandangan? Sudahlah, gadis bernama lengkap Ralifa Safran itu menghela napas panjang. Ini resiko menjadi siswi baru, mendapatkan perhatian lebih meski dia tidak ingin.
"Lifa, sekarang kamu bisa duduk di situ." Bu Merta menunjuk bangku kosong tak jauh dari pintu masuk, lebih tepatnya di sebelah seorang cowok yang sedang menatap Lifa dengan sorot tajam.
"Saya harap di awal kelas dua belas ini kalian lebih semangat lagi belajarnya." Setelahnya, guru itu pamit keluar kelas.
Lifa mengangguk sopan, lalu tersenyum sebelum melangkah ke tempatnya. Tanpa pernah berkedip, dia juga menatap Dean seraya tersenyum miring. Entahlah, Lifa tidak tahu sedang menghadapi siapa sekarang sampai-sampai cowok itu menatap sebegitu rupa. Apakah dia most wanted dengan predikat bad boy terpintar?
Ah, rasanya tidak mungkin mengingat si cowok mengenakan seragam begitu rapi, sepatu tanpa noda, serta buku tulis dan buku paket sudah tersuguh di atas meja. Sebelum duduk, Lifa kembali menatap seluruh isi kelas. Wah, mereka semua sibuk bersama buku masing-masing tanpa memedulikannya lagi. Ternyata dia berada di tengah-tengah orang ambisius.
"Fa, gak lihat gue?"
Lifa baru saja duduk, belum melepas ransel, bahkan belum menyapa teman sebangkunya yang sudah berhenti melempar sorot tajam dan kini sibuk bersama buku paket, tiba-tiba seseorang memanggil dari belakang tempat duduknya. Dia berbalik sambil tersenyum tipis, tak lupa mengulurkan tangan layaknya ingin berkenalan.
"Gue Ralifa, salam kenal."
Cowok yang memanggilnya tadi langsung menepis tangan Lifa dan menggeleng pelan. "Lo pikir gue lupa sama sahabat kecil gue yang pindah ke Medan terus balik karena--" Ucapannya terpotong ketika guru pengajar tiba-tiba masuk kelas.
"Assalamu'alaikum."
"Nanti aja, Ga, ngomongnya," ujar Lifa sambil membalikkan badan.
Cowok bernama Gani itu pun hanya bisa mengangguk lemah, padahal dia sangat ingin bercerita dengan sahabatnya yang telah lama pergi dan seketika kembali ke Jakarta hanya karena ... sehelai sticky note?
~~~
"Dasar dari sifat koligatif larutan yaitu hukum Roult. Ada yang tahu apa bunyi dari hukum ini?"
Setelah menjelaskan sedikit mengenai materi terkait, akhirnya Bu Dian mengajukan pertanyaan dan itu cukup membuat Lifa membuang napas legah. Di banding belajar dengan metode ceramah, dia jauh lebih menyukai metode debat. Lifa memandang teman-temannya, ternyata mereka semua sangat antusias. Mereka memang tidak bersuara seperti kebanyakan siswa lain saat dilemparkan pertanyaan untuk dijawab, melainkan seisi kelas hanya mengacungkan jari dan menunggu Bu Dian memilih penjawab soal.
Lifa tersenyum miris, ternyata hanya dia seorang yang tidak mengangkat tangan. Gadis itu melirik teman sebangkunya.
"Serius banget," desisnya.
"Saya mau kamu yang menjawab." Bu Dian menunjuk Lifa hingga seluruh pasang mata beralih ke satu titik.
"Saya, Bu?" Jelas saja Lifa sadar akan menjadi sasaran empuk oleh telunjuk Bu Dian. Hanya dia yang tidak mengacungkan jari. Gadis itu membuang napas pendek.
"Iya, kamu siswa baru,'kan? Saya tahu kamu belum punya buku paket, sementara yang lain memiliki buku itu. Mudah saja mereka menjawab karena memiliki pegangan, tetapi kamu tentu saja tidak. Silakan Lifa."
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Teen Fiction"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...