12- Mungkin

32 7 25
                                    

Satu persatu nama disebut oleh ketua kelas untuk mengambil kertas hasil ulangan harian kemarin. Berbagai ekspresi mewarnai waktu istirahat. Sebagian dari mereka murung karena mendapat nilai tak sesuai harapan, padahal nilai tersebut sangat jauh dari angka remedial.

Dean membalik kertas ulangannya seraya memukul meja, Lifa sampai tersentak dibuatnya. Cowok itu menelungkupkan wajah, tidak ingin melihat siapa pun. Dia memejam, merasakan sakit kepala yang tiba-tiba mendera. Sakit ini bukan karena nilainya kurang dua poin sampai ke angka seratus, melainkan dia kalah dalam perjanjian.

Sungguh dia ingin membatalkan perjanjian itu, tetapi Lifa tidak akan terima. Bagaimana mungkin dia belajar setiap hari bersama gadis ini sementara dia dirundung rasa bersalah. Lagi-lagi penyebabnya adalah masa lalu. Jika hidup bisa direset, dia tidak akan mau bersaing dengan Almira dan berakhir menyedihkan.

Kenapa harus lo, Fa.

Dean masih tidak percaya Almira dan Lifa adalah saudara. Dia tidak tahu harus menghadapi gadis itu. Semenjak kemarin dia terus menghindar dan tidak ingin diajak berbicara. Dean menggeram jengkel, lalu berbalik ke meja Gani.

"Gan, mulai hari ini kita tukeran tempat duduk."

Gani yang tadinya sibuk bermain gim seketika berhenti bergerak. Dia menatap Dean dan Lifa yang ternyata sudah menganga tidak percaya seraya menampakkan raut bingung. Gani meletakkan ponsel di atas meja sambil menatap sahabatnya.

"Kok, tiba-tiba gini?"

Dean bangkit dan menenteng tas. Tangannya melempar ransel ke atas meja Gani dan menyuruh cowok itu pindah. Setidaknya dia tidak satu meja dengan Lifa, itu sudah menjadi langkah awal yang baik untuk menghindar.

"Lo harus tepatin janji. Kenapa lo pindah?" Lifa berdiri dan berhadapan dengan Dean.

Lifa tidak menyangka bahwa nilai seratus di kertas ujiannya akan membuat Dean sekesal ini. Dia tertawa, tetapi matanya menatap tajam ke arah cowok berambut cepak itu.

"Gue gak mau tahu, kembali ke tempat lo sekarang."

Dean menarik Gani agar segera pindah ke tempat duduknya. Tak perlu ada perdebatan panjang sekarang, segalanya 'kan semakin rumit jika dia meladeni Lifa. Dia sudah sangat terguncang karena fakta mengejutkan gadis itu.

"Kemarin lo gak ngomong apa-apa ke gue, Yan. Terus sekarang lo menghindar." Lifa membuang napas kasar, "salah gue apa?"

Tidak mau terus ditatap, Dean memilih tidur dan tidak memedulikan Lifa yang terus menarik tangannya. Namun, tindakan gadis itu tidak bertahan lama, sudah tidak ada lagi teriakan dan tarikan yang membuat emosi. Bukan, emosi ini timbul sebab pikiran yang kacau.

Dean mengepalkan tangan, matanya semakin menutup rapat. Perlahan memori-memori dulu kembali menghantui. Dia sudah berhasil menyingkirkan kenangan pahit itu, tetapi dengan mudah segalanya kembali dan sangat sulit baginya mengatasi ini semua.

"Anda jangan kurang ajar!"

"Kamu yang kurang ajar."

Kedua tangan Dean kompak menarik rambut. Dia tidak tahan mengingat kejadian itu lagi. Setiap adegan kelam Almira menari dalam otak, dia akan terlihat seperti orang frustrasi. Dean tidak tahu bagaimana menangani ini sekarang.

"Saya gak sudi ada di sini."

Tatapan tajam Almira kala itu membuatnya merasa bersalah. Semua kejadian yang menimpa gadis itu memang bukan kesalahannya. Dia juga sangat terguncang mengetahui fakta tidak mengenakkan tersebut.

"Argh!"

Teriakan Dean membuat seisi kelas tersentak. Mereka berpikiran cowok itu kesal karena nilai ulangannya dikalahkan oleh Lifa. Mereka geleng-geleng kepala dan mengangguk maklum. Semua tahu bagaimana kerasnya Dean belajar dan saat mengetahui ada yang mampu mengalahkannya pasti membuat cowok itu frustrasi.

How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang