17- Inilah

26 8 15
                                    

Kedua manusia sebaya itu membisu, memandang jalan lenggang pagi hari di depan sana. Setelah menangis sepuasnya dan ditatap aneh oleh orang-orang yang memasuki Alfamart, mereka cuma bisa terdiam. Belum ada yang mau memecah hening karena masing-masing tengah sibuk mendamaikan hati.

Lifa melihat roti di tangan, belum dia makan sebab sama sekali tak berselera. Hanya saja Dean terus memaksa agar dia mengisi perut. Gadis itu melirik ke samping, cowok di sebelahnya sama sekali tidak menyentuh makanan pengganjal di atas meja.

"Kalau lo peduli sama orang lain, harusnya lo juga peduli sama diri lo sendiri," celetuk Lifa sambil menatap Dean.

Cowok berkaus biru malam itu menoleh sambil tersenyum tipis. "Gue gak terbiasa peduli sama orang lain."

"Lo peduli, ini buktinya." Lifa mengangkat roti di tangan, lalu memaksa menyerahkan ke Dean.

"Lho, itu punya lo," protes cowok itu.

"Udah, makan. Ini gue ambil lagi." Tangan gadis itu meraih bungkus roti yang lain di atas meja, membuka, lalu segera memakannya.

Dari ujung mata, Lifa dapat melihat Dean terbengong. Merasa risih, dia segera melihat cowok itu dan roti yang dipegang secara bergantian, menyuruh Dean untuk makan.

Dean tertawa, tetapi langsung melahap makanannya. Keadaan kembali hening, hanya kunyahan yang mengisi gendang telinga satu sama lain. Sejatinya mereka saling menunggu untuk menceritakan alasan di balik kesedihan mereka di hari Minggu pagi ini. Namun, tak ada satu pun hendak bersuara.

Lifa berdeham sembari meraih sebotol air mineral. Gadis itu selesai dengan sarapan pagi seadanya. Ya, setidaknya dia masih bisa makan di tempat lain, bukan di rumah yang malah merusak perasaannya.

"Gue gak bakalan cerita. Tapi, berhubung lo tahu kakak gue, jadi gak masalah." Lifa membuka obrolan dan berencana menceritakan cikal bakal kekacauannya hari ini.

Dean mengangguk. "Cerita aja apa yang lo pendam, Fa. Gue bakalan dengar sampai habis."

Gadis kelahiran Maret itu tersenyum manis. "Alasan gue paling kuat kembali ke Jakarta karena kakak gue. Dia tiba-tiba meninggal dan papa gak mau usut kasusnya."

Deg!

Dean membulatkan mata, hampir-hampir kembali menangis, tetapi dia berusaha memperkuat pertahanan dirinya. Selain itu, dia tidak ingin menganggu Lifa menceritakan kisah itu, dia ingin tahu semuanya.

"Di sini gue bersikeras cari bukti berbekal selembar sticky note yang Kak Almira buang, tapi malah Gani pungut."

Untuk kedua kali, Dean kembali terkejut ketika mendengar nama Gani. Beruntung penguasaan diri dapat dikendalikan dengan baik.

"Isinya mengisyaratkan papa selingkuh. Awalnya gue kira Kak Almira buang kertas itu karena takut isinya terbongkar ke mama atau gue, tapi ternyata karena sticky note-nya kotor. Gue rasa lo tau benar gimana Kak Almira."

Gadis itu mengembangkan senyum sembari menatap Dean penuh makna. "Terima kasih udah mengisi hari-hari kakak gue. Gue yakin Kak Almira beruntung banget kenal sama lo."

Dean meringis. "Gue gak sebaik yang lo kira, Fa."

"Lo baik, kok. Tapi, butuh waktu lama buat kenal lo lebih jauh dan lihat kebaikan lo. Mungkin itu yang buat lo dekat sama Kak Almira yang pada dasarnya gak bisa bener-bener berteman, lo baik sama dia."

Kali ini Dean sudah tidak bisa membendung air matanya agar tidak turun. Susah payah dia menyembunyikannya agar Lifa tidak melihat. Sungguh hatinya begitu hancur mendengar kata baik terlontar dari bibir seorang adik yang sama sekali tidak mengerti kejadian sebenarnya.

"Hari ini gue berusaha cari kunci kamar kakak gue, dan ketemu. Tapi, gue gak dapat petunjuk apa-apa selain kemarahan papa gue. Sampai sekarang gue gak ngerti kenapa bokap marah banget, tapi kayaknya dia nyembunyiin sesuatu tentang Kak Almira."

Dean menunduk dalam, merasakan rasa bersalah yang semakin merasuk ke dalam dada. Cowok itu meraih tangan Lifa dan mengenggamnya erat. Di satu sisi dia ingin mengatakan kebenaran, di sisi lain ada bayang-bayang sang mama di sana.

Mata kelam cowok itu menatap dalam manik Lifa yang tengah membulat karena terkejut. Dia tersenyum sedih. Kepedihan orang tuanya, kebaikan Almira, perhatian Lifa menciptakan gejolak pedih yang tak terkira.

"Gue ... gue ... " Lidah kelu tak mampu membuat Dean menyelesaikan ucapannya.

"Lo kenapa? Gue tahu lo sedih karena Kak Almira juga, 'kan?"

Gadis itu menepuk-nepuk pundak Dean, senyum turut menghiasi bibir, seakan-akan memberi kekuatan. Di saat seperti ini bahkan Lifa jauh lebih kesulitan darinya, tetapi dia yang malah dikuatkan.

"Gue sedih karena kenyataan," ucapnya sambil menangis.

"Gue juga." Lifa mengenggam erat tangan Dean yang sudah menggenggam gadis itu terlebih dahulu, "gue tau lo belum suka sama gue, tapi gue mohon jangan tinggalin gue, Yan."

Lo yang bakal ninggalin gue, Fa.

Bibir kaku cowok itu tak mampu berucap apa-apa. Dia hanya mengangguk, ya, dia janji tidak akan meninggalkan Lifa meski gadis itu pergi. Rasa bersalah yang membesar tak mampu membuatnya menolak.

Lifa kembali melengkungkan bibir hingga matanya ikut menyipit. Kali ini senyum tersebut tak menunjukkan kesedihan, melainkan kedamaian. Dalam benak Dean mata yang menyipit karena anggapan baik itu akan menatap penuh kebencian suatu saat nanti.

Dean berdiri di hadapan gadis itu, lantas memeluknya. Dia menangis dipelukan Lifa, tak peduli orang-orang membicarakan dirinya. Dia hanya ingin seperti ini sebelum Lifa benar-benar menghilang dari pandangannya.

"Maaf ...," lirihnya.

"Lo itu misterius banget. Minta maaf mulu padahal gue gak tau lo salah apa," kekeh Lifa di akhir kalimat, "cerita, dong, biar bisa gue maafin."

Dean mengangguk tanpa melepas pelukannya. "Besok, sepulang sekolah bawa gue ke makam Kak Almira, bisa, 'kan?"

Lifa terkekeh. "Iya, besok kita ke sana. Gue tau lo kangen."

"Apa lo mikir gue punya perasaan sama kakak lo?" Dean berkacak pinggang seraya menyorot tajam wajah gadis di depannya.

Lifa menegakkan tubuh, tiba-tiba badannya terasa kaku. "Y-ya iyalah. Gani juga mikirnya kayak gitu."

Dean mendengkus. "Dekat bukan berarti saling suka. Gue sama Almira cuma rekan belajar."

Gadis itu menatap Dean tak percaya, matanya seketika berbinar. "Serius? Wah, gue gak jadi, deh, ngerasa gak enak sama Kak Almira."

~~~
Day 17

Sedikit lagi ending, nih.

Sedikit lagi ending, nih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang