11-Bagaimana

35 9 50
                                    

Detak jam dinding menemani kegiatan belajar Dean malam ini. Goresan pena sudah memenuhi belasan kertas di atas karpet berbulu berwarna hitam itu. Lima buku paket menambah tingkat keseriusan cowok yang lahir di bulan April tersebut. Tiga botol air mineral di depannya telah tandas tanpa dia sadari.

Dean berdecak ketika meraih salah satu botol dan ternyata sudah tak bersisa lagi. Dia bangkit dan tidak lupa membawa ketiga alat penampung air itu ke dapur. Setelah semua terisi, dia kembali berjalan ke kamar dengan lunglai. Sejujurnya dia sudah sangat lelah hari ini. Les tambahan sangat menguras tenaga dan pikiran.

"Jangan tidur. Mama bakalan periksa kamarmu pukul dua nanti." Fika menatap datar sang anak sebelum memasuki kamarnya.

Cowok berkaus abu itu menguap dan mengangguk meski mamanya tak melihat tindakannya barusan. Tidakkah sang mama melihat betapa lelahnya dia? Dean menatap pintu kamarnya, sepersekian detik dia bersandar sembari menghela napas. Ada banyak pikiran sedang bergelayut dalam benak.

Dia sadar betapa Fika begitu memedulikan masa depannya. Dean tahu bahkan sangat tahu bahwa sang mama tidak ingin melihatnya menderita di kemudian hari. Namun, mentalnya kacau ketika wanita paruh baya tersebut terus menekan dirinya tanpa henti.

Di umurnya yang kedelapan belas tahun pun dia paham mengapa Fika bersikeras mendidiknya tanpa hati. Dia hanya pura-pura tidak peduli bahwa mamanya sedang menanggung penderitaan batin karena cinta di masa lalu. Dean tertawa hambar, karena kisah itu dia harus menjalani hidup seperti ini.

Memang tidak merugikan, hanya saja dia muak dan ingin muntah rasanya ketika Fika selalu memarahinya sebab nilai tak sesuai harapan, lalai dalam belajar, tidur lebih dari tiga jam, dan masih banyak hal konyol yang tak seharusnya dia lalui seperti itu.

"Dan sebagai anak gue wajib mengerti keadaan orang tua,"--gumam Dean sambil menatap sekilas kamar mamanya--"kapan mama ngerti sama perasaan Dean?" Jika ada orang lain yang mendengar perkataannya barusan, mereka pasti turut merasakan kesedihan mendalam.

Dean membuka pintu kamar, lalu kembali berkutat dengan buku, kertas, serta puplen di depannya. Besok ulangan harian kimia, dia tidak boleh mendapatkan nilai di bawah seratus. Setelah puas berdiam diri, dia kembali fokus. Semua soal latihan dikerjakan dalam waktu singkat. Mudah saja menjawab pertanyaan tersebut selama keadaan hening seperti ini, tetapi akan berbeda hasilnya jika dia berada di dekat Lifa.

Selain tidak bisa tenang, akhir-akhir ini gadis itu sering menempel dalam otaknya. Seperti sekarang, dia kembali dibayang-bayangi oleh Lifa ketika sedang membela dirinya sewaktu pulang dari perpustakaan. Dean tertawa mengingat tingkah gadis itu.

"Kayaknya otak gue butuh relaksasi," ringisnya.

Saat ingin berbaring barang sebentar, ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Dean mengernyit ketika mendapati nama Lifa di kolom percakapan. Tidak biasanya gadis itu mengirim pesan apa lagi sudah pukul satu malam. Dean menatap cukup lama benda pipih tersebut, dia berniat pura-pura tidur saja daripada membalas pesan Lifa dan berakhir membuat jantungnya agak berdetak tidak normal.

Namun, pertahanannya runtuh begitu saja. Kemampuan menolaknya tiba-tiba tidak berfungsi. Setelah puas mengacak-acak rambut sendiri, dia membalas pesan masuk Lifa.

Lifa: Lo belum tidur, 'kan?
Lifa: Soal latihan nomor 2 halaman 21 udah lo kerjain?
Lifa: Pasti udah. Ajarin caranya, dong.
Lifa: Centang dua tapi gak biru, padahal online.
Lifa: Chat sama siapa, sih?

Dean menyunggingkan senyum padahal dia tahu pasti tak ada yang lucu.

Dean: Tekan link ini, nanti juga muncul cara jawabnya.

How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang