Jika malam sebelumnya Dean tidak dapat keluar rumah karena tertangkap basah, kali ini dia berhasil lolos. Fika telah selesai melakukan inspeksi tengah malam dan Dean bisa bebas sekarang meskipun jam sudah menunjukkan pukul 02.30. Namun, tidak masalah baginya. Dia benar-benar ingin bebas barang sebentar.
Ke sekolah bertemu buku, kembali ke rumah dan bertemu buku lebih banyak lagi selama ini membuat Dean ingin muntah rasanya. Dia jarang keluar rumah selain mengikuti les tambahan sepulang sekolah, jalan-jalan ke tempat lain selain perpustakaan daerah pun dia tidak pernah.
Dean menunduk seraya menendang kerikil kecil yang ditemuinya di jalan. Sembari berjalan dia memikirkan tindakan mamanya selama ini. Dia tahu pasti mengapa dia harus belajar lebih keras daripada teman-teman lainnya. Semua karena sang mama mendapatkan perlakuan jelek di masa lalu dan merembes kepada sang anak, dididik keras dengan cara tiger parenting.
Tiger parenting adalah model pengasuhan otoriter. Orang tua mendorong dan menekan sang anak untuk mencapai akademik yang tinggi. Beginilah Dean dibesarkan hingga membuat cowok itu tertekan setiap hari.
Waktu kecil dia selalu dikurung, akses bersosialisasi bersama orang lain hanya bisa dia dapatkan saat di sekolah, itu pun kebanyakan dari mereka membenci dirinya karena terlalu arogan, ambisius, dan perfeksionis. Dean kesal karena tidak ada yang ingin berteman dengannya selama sembilan tahun, sampai dia bertemu Gani di SMA.
Dean tertawa kecil. "Pertemuan gue sama Gani juga gak enak, sih. Tapi, gue bersyukur karena setelahnya gue bisa akrab sama dia."
Cowok itu berhenti, menatap Alfamart di depan sana. Kemarin dia harus ke sini, tetapi nahas karena sang mama mendapati dirinya. Barulah hari ini dia bisa merealisasikannya meskipun tanpa Gani. Dia berjalan memasuki gerai dua puluh empat jam itu, setelah membeli minuman kaleng barulah dia keluar dan berniat duduk di salah satu kursi yang tersedia.
Namun, kakinya tertahan saat melihat seseorang yang dia kenali di sana, terduduk dengan wajah ditekuk. Dean menghela napas, lalu melihat ke sisi lain untuk mencari kursi, tetapi kursi kosong ternyata hanya tersedia di depan cewek itu saja. Dia menimbang-nimbang sebentar antara duduk atau kembali ke rumah. Akan tetapi, dia tidak ingin pulang sekarang.
"Ck, gak ada pilihan lain." Dia memutuskan untuk duduk di depan cewek itu.
Dean memperhatikan wajah Lifa yang tak biasanya seperti ini. Tidak ada wajah menjengkelkan di sana meski melihatnya seperti ini tetap sedikit menyentil emosi. Tidak ada sapaan ramah, bahkan gadis itu sama sekali tidak berminat menatap sosok lain yang duduk di depannya.
"Kenapa?"
Lifa kontan menegakkan punggung saking kagetnya. Dia memegang dada untuk menetralkan pacuan jantung di dalam sana. Setelah berhasil tenang, barulah dia menyorot tajam cowok di depannya.
"Kalau lo dendam sama gue gak gini caranya," ucap gadis itu seraya meraih sebatang rokok.
Dean sigap menahan tangan Lifa ketika hendak mengisap rokok yang telah dibakar ujungnya. Kejadian tarik-menarik tangan pun terjadi. Lifa menarik tangannya agar bisa lepas dari cekalan Dean, cowok itu berusaha menjauhkan benda bernikotin tersebut dari mulut cewek gila di depannya.
"Lepasin!" bentak Lifa, tetapi Dean tidak terpengaruh sama sekali.
"Gue heran sama anak muda zaman sekarang," jeda sejenak.
Dean menyandarkan siku di atas meja berbahan stainless hingga siku Lifa juga turut melakukan hal serupa. Jadi, posisi keduanya seperti ingin berpanco.
"Kenapa kebanyakan dari mereka selalu lari dari masalah dengan cara merokok." Cowok itu kembali meneruskan kalimatnya.
Lifa menghempas paksa tangannya. "Anak baik-baik gak bakalan tau rasanya jadi anak nakal. Seru, tau," ujarnya sambil tersenyum miring.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Teen Fiction"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...