Jam masih menunjukkan pukul 06.15 pagi, tetapi kelas sudah hampir terisi penuh. Lifa berdecak kagum seraya menatap teman-temannya yang sudah menaruh fokus pada buku tebal di hadapan mereka. Gadis berpakaian olahraga itu menengok ke kelas sebelah.
"Wow, what a different situation," ungkap Lifa ketika melihat kelas dua belas IPA dua.
Kelas itu masih sepi, bahkan hanya ada dua orang siswi sedang piket. Sungguh perbedaan luar biasa. Masih asyik memandang penghuni kelas lain, Lifa dikejutkan oleh suara seseorang dan sontak membuatnya berbalik.
"Daripada lo di situ ngepoin orang lain, mending kasih lihat gue hasil materi makalah yang udah lo cetak."
Setelah berujar demikian, Dean masuk ke dalam kelas, duduk, dan langsung mengeluarkan satu pulpen dengan banyak warna. Dia menunggu Lifa sambil membaca buku paket biologi yang tebalnya luar biasa. Beginilah seorang Dean, bergelut bersama buku tebal setiap hari, tidur larut malam, dan ke sekolah di pagi hari. Dia menyukai hidup seperti ini karena terbiasa, tetapi jiwanya perlu merasakan bebas sesekali.
"Nih." Lifa memberikan beberapa lembar kertas berisi materi kepada Dean setelah gadis itu mendudukkan diri.
Tangannya menggeledah isi tas, lalu meraih ponsel serta earphone. Lifa kira setelah memberikan apa yang Dean minta dia tidak akan mendengarkan ocehan cowok itu lagi, tetapi saat hendak memasangkan alat pendengar musik ke masing-masing telinga, Dean berceletuk, mengomentari isi kertas yang menurutnya salah. Tak lupa cowok itu juga menandainya menggunakan pulpen banyak warna.
Lifa mengepalkan tangan di bawah meja, ingin sekali rasanya menarik rambut cepak cowok ini. Hah, dapat dia pastikan hari ini mood-nya akan selalu berantakan. Mungkin Lifa terlalu berharap kehidupan setelah kembali ke Jakarta akan menarik karena bertemu Gani, tetapi kenapa dia juga harus bertemu Dean di sini.
"Lo lihat! Semua yang gue tandai di kertas lo salah. Lo baca gak, sih? Atau cuma ngopas artikel dari internet?"
Cowok berbaju olahraga itu memandang Lifa dengan sorot tajam. Hari-harinya selalu saja berantakan jika bersama gadis ini. Dosa apa yang telah dia perbuat hingga mendatangkan Lifa ke dalam hidupnya.
Seketika emosi memuncak kala kalimat demi kalimat yang Dean lontarkan menyentil hatinya. Memang, dia mengambil sebagian materi dari internet, tetapi Lifa yakin semua isinya sesuai. Gadis itu merampas kertas miliknya, melihat berbagai macam warna tinta tergores di sana. Seketika dia mengingat kebiasaan sang kakak.
Sudut bibir gadis itu langsung terangkat, netra kelamnya terus menatap kertas-kertas di tangan. Hanya melihat tinta itu saja dapat menarik kenangan bersama Almira. Andaikan kakaknya masih hidup.
"Gue mau hasil revisinya lo kasih li--"
Dean terkejut melihat pemandangan di sebelahnya. Seorang Lifa tersenyum saat melihat coretan berwarna itu? Dia pikir akan mendapat sejuta balasan menjengkelkan dari mulut gadis ini. Akan tetapi, dugaannya salah saat Lifa belum juga memudarkan senyumnya.
"Lo denger gue gak?"
Cukup lama Lifa bernostalgia bersama kenangan lama hingga membuat kesadaran masa kini tertangguhkan. Setelah sadar dia langsung melirik tajam ke arah Dean. "Gue gak mau tahu!" gertaknya seraya memukul meja.
Dalam hati Lifa berdecak jengkel, baru saja keadaan hatinya membaik, sekarang malah kembali menjadi ambyar. "Gue udah berusaha, kalau lo mau ubah, ubah sendiri."
Gadis itu langsung ke luar kelas mengingat bel pelajaran pertama akan segera dimulai. Pagi ini jadwalnya olahraga, syukurlah karena Lifa tidak mampu dekat-dekat Dean saat ini. Bisa-bisa dia sensian seharian penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Teen Fiction"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...