05- Dia

33 8 33
                                    

Lifa menggerak-gerakkan kepala mengikuti alunan musik dari ponsel seraya melihat orang tuanya yang sedang menonton televisi bersama. Gadis itu tersenyum sambil melepas earphone di telinga. Keluarganya sungguh sempurna.

Lifa tidak pernah tahu bagaimana perasaan seorang anak yang tidak memiliki orang tua lengkap. Namun, Lifa tahu pasti mereka yang tak seberuntung dirinya pasti berusaha bergulat dengan pedih setiap hari, memasang wajah ceria di hadapan teman-teman agar tidak ditanyai macam-macam pertanyaan yang dapat membuat sakit hati.

Gadis itu menampakkan senyum kecil. Yah, setidaknya dia masih memiliki seorang papa dan mama di hidup ini meski tanpa sang kakak. Andai Almira masih di sini mungkin keadaannya jadi tidak membosankan seperti sekarang. Lifa menghela napas, lalu berbalik melihat kamar kakaknya.

"Kamar Kak Almira ... gue harus periksa kamar ini." Lifa mengangguk mantap. Dia tidak ingin penasaran seumur hidup.

Jika sang papa melarang membuka kamar ini pasti ada penyebabnya. Lifa segera menuruni anak tangga, berlari ke arah sepasang suami istri yang sedang serius menatap televisi.

"Lifa? Sini, nonton bareng kita." Melani melepas rangkulan suaminya dan membuat jarak hingga menyisakan ruang di tengah dirinya dan Safran. Wanita itu menepuk ruang kosong tersebut, menyuruh Lifa segera duduk.

Gadis berkaus hitam serta bercelana panjang abu itu menurut dan menghempas diri di antara kedua orang tuanya. Hah, perasaan nyaman dan tentram bisa dia rasakan. Dulu, waktu masih kecil dia selalu bertengkar bersama Almira untuk mengambil tempat duduk di tengah-tengah seperti sekarang. Akan tetapi, tidak ada Almira lagi, dia jadi semakin rindu akan tingkah laku sang kakak.

"Lifa rindu Kak Almira."

Mendengar sang anak berucap demikian membuat Melani terenyuh. Sama seperti Lifa, dia juga merindukan Almira. Dia pernah membiarkan anaknya hidup mandiri bersama seorang pembantu di rumah ini selama lima tahun. Intensitas bertemu dengan putri sulungnya sangat kurang, ketika Almira meninggal dia jadi sangat bersalah.

"Mama juga rindu." Wajah sendu tak dapat disembunyikan. Melani masih tidak menyangka salah satu anaknya telah mendahuluinya.

Wanita paruh baya itu diam-diam mengusap air mata, lantas bangkit meninggalkan Safran dan Lifa di ruang tengah. Manusia hanya mampu mengurai rindu setelah bertemu langsung. Namun, beda hal dengan Almira. Dia hanya bisa mengirim doa atau mengunjungi makam sang anak, itu pun hanya dia yang merasa sedih seperti sekarang, sedangkan Almira tidak bisa.

"Lifa, Papa tahu kamu kangen sama kakakmu, tapi Papa mohon jangan ungkit Kak Almira di depan mamamu." Safran memeluk pundak Lifa, bermaksud menenangkan anaknya.

Meskipun dia bersikap baik seperti ini, benaknya 'kan selalu mengatakan dirinya penjahat sejati. Diam-diam Safran menangis ketika sesak di dada semakin berkuasa.

"Pa, Lifa mohon bukain pintu Kak Almira. Lifa pengen nyari sesuatu di sana," mohon gadis itu sembari menghapus air matanya.

Safran sontak berdiri. "Lifa! Papa sudah bilang kuncinya tidak ada. Kenapa kamu selalu ingin masuk ke sana? Papa tidak mau tahu, ini terakhir kalinya Papa dengar kamu minta kunci kamar itu."

Keadaan yang awalnya terselimuti awan mendung dan tetesan-tetesan cairan bening dari mata masing-masing, kini berubah menjadi tegang hanya karena permintaan kecil dari Lifa, tetapi berdampak besar bagi Safran.

Belum sempat pria itu melangkah lebih jauh, Lifa kembali buka suara. "Kenapa Papa selalu ngelarang Lifa masuk ke kamar Kak Almira? Kenapa, Pa?"

Tanpa menjawab pertanyaan sang anak, Safran segera berlalu dari sana. Dia tidak bisa memaksa kakinya menopang tubuh lebih lama lagi, raganya ingin segera direbahkan dan melupakan kejadian hari ini meski usahanya 'kan sia-sia.

How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang