04- Fakta

47 9 40
                                    

Sudah berapa kali Lifa terkejut akan tingkah teman-temannya. Dulu saat di Medan, setelah berolahraga semua isi kelas berhamburan ke kantin untuk mengisi ulang tenaga, sedangkan di sini dia hanya mendapati dirinya bersama Gani. Gadis itu menggeleng takjub dan tanpa sadar tertawa hingga membuat Gani yang sedang memesan nasi goreng terkejut.

"Lo sehat?"

Sadar akan tingkah lakunya, dia berdeham singkat dan langsung memesan nasi goreng. Setelah itu, mereka berdua memilih duduk di dekat lemari pendingin. Angin sesekali menyabar rambut panjang Lifa karena tepat di sebelah jendela yang terbuka sempurna, menampakkan lapangan yang mereka gunakan saat berolahraga tadi.

"Fa, gue boleh minta sesuatu?" pinta Gani seraya memainkan sedotan plastik hitam di tangannya.

Gadis yang tengah sibuk mengipasi leher menggunakan tangan itu hanya mengangguk singkat, sedangkan Gani mulai membuka suara. Cowok itu tahu permintaannya akan ditolak mentah-mentah, tetapi tidak ada salahnya mencoba untuk menemukan sebuah kemungkinan, bukan?

"Jangan kelahi mulu sama Dean. Coba pelan-pelan masuk ke dalam dunianya, lo bakalan tahu kenapa dia seperti itu."

Bukannya menanggapi, gadis berkuncir tersebut malah bersenandung sebab tidak ingin menanggapi ucapan sahabatnya tadi. Di saat bersamaan pesanan mereka datang hingga membuat Lifa merapal syukur berulang kali dalam hati.

Tidak ingin menyerah, Gani kembali mencoba mengajak Lifa berdamai dengan Dean. Dia tidak ingin repot membujuk keduanya saat bertengkar, atau bahkan salah satu dari mereka akan berpikir bahwa dia lebih berpihak salah satu dari mereka. Gani tidak ingin dihadapkan pada pilihan antara Dean atau Lifa.

"Gue yakin kalau lo coba memahami Dean, lo pasti--"

"Bodo amat, siapa yang peduli tentang dia. Terus kenapa gue harus memahami dia lebih dulu?"

Gani mendesah panjang, ternyata ucapan salah satu temannya benar. Perempuan selalu ingin dinomorsatukan. "Karena ... gue gak bisa jelasin. Itu sebabnya gue nyuruh lo kenal Dean lebih dekat."

"Sekali lagi bodo amat."

Yah, begitulah Lifa. Membujuknya bagaikan membujuk sebuah batu berjalan. Sangat keras kepala. Namun, Gani paham memang tidak semudah itu membuat Lifa mengerti tentang Dean, suatu saat nanti keduanya akan saling memahami. Dulu, Gani pernah begitu benci terhadap cowok yang sekarang telah menjadi sahabatnya, tetapi setelah mengenal Dean lebih dekat dia jadi paham mengapa cowok terpintar seantero SMA Merah Putih tersebut bersikap demikian.

"Gue gak maksa, tapi kalau lo berkenan bolehlah dicoba."

Lifa tadinya ingin membalas perkataan Gani, tetapi melihat cowok jangkung berpakaian osis berjalan ke arahnya, dia jadi urung dan kembali menyantap makanannya. Dia tidak tahu apa lagi yang akan membuat kemarahan Dean memuncak karena dirinya. Lifa bosan berdebat, apalagi jika mengingat kejadian saat di lapangan tadi.

Tinggal menghitung detik Dean tiba di meja mereka, dan Lifa siap-siap menebalkan telinga jika nanti cowok itu berceloteh lagi. Namun, ketika Dean melewati mejanya dan berbelok ke arah mesin pendingin, dia jadi tertawa terbahak-bahak. Gila, pikirannya mungkin sedang tidak berfungsi dengan baik.

Gani menatap gadis di depannya dengan raut bingung, dan mendapati ke hadiran Dean juga di sana. Dia mengabaikan Lifa dan memilih menyapa Dean. Melihat cowok itu ke kantin merupakan sesuatu yang luar biasa.

"Yan, tumben ke sini?"

"Beli air minum. Gue lupa bawa soalnya."

Baru melangkah sekali, cowok itu tertahan ketika Gani menahan bahunya. "Makan dulu, gue tahu lo belum sarapan."

How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang