16- Bersama

29 8 19
                                    

Lifa melirik lantai dua, yakni kamar orang tuanya, menit berikutnya dia melempar atensi ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 02.25. Dengusan keluar begitu saja, dia harus rela tidak tidur demi melakukan kenekatannya. Tak ada kepedulian jika nanti dia tertangkap basah, yang terpenting mencoba menemukan apa yang dicari bisa didapatkan.

Gadis itu meraih foto sang kakak, ditatapnya Almira yang sedang menampilkan senyum terbaik di sana. Lifa tersenyum sedih sembari mengusap pelan kaca bingkai di tangan. Dia tidak dapat lagi menyaksikan lengkungan bibir kakaknya secara langsung.

"Hai Kak Almira. Lifa rindu banget," lirihnya.

Setelah puas menatap foto tersebut, dia kembali meletakkan di tempat semula. Lifa bangkit, memperbaiki piama, lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Aksi akan segera dimulai. Bagaimanapun dia harus menemukan kunci kamar kakaknya.

"Gue harap ini gak sulit." Lifa mengangguk mantap, detik berikutnya dia berjalan pelan meniti anak tangga hingga sampai di depan kamar orang tuanya.

Lifa membuang napas pelan, dapat dia rasakan aliran darah mengalir kencang di dalam sana, tangannya mendingin karena gugup. Meski ragu perlahan muncul, dia tetap melayangkan tangan menyentuh kenop pintu dan berusaha menggerakkannya perlahan agar tidak menimbulkan bunyi.

Perlahan pintu mulai terbuka tanpa ada suara decitan sama sekali. Gadis itu meneguk ludah yang terasa sulit menyentuh kerongkongan. Sangat pelan kaki melangkah mendekati meja kecil di dekat lemari pakaian. Dalam hati Lifa berdoa agar laci-laci meja tersebut tidak terkunci.

"Semoga aja di sini," gumam gadis itu.

Lifa mulai menarik satu per satu laci kecil tersebut. Matanya sesekali awas melirik ke arah tempat tidur, takut orang tuanya terbangun, terlebih jika itu Safran. Gadis itu mendesah panjang, dia tidak menemukan apa-apa di laci ini.

"Gak ada."

Lifa mengedarkan pandangan, mencari di mana kemungkinan kunci kamar kakaknya berada. Netranya membulat ketika melihat ada meja lain di sudut kamar, tepatnya di sebelah Safran. Gadis itu menggaruk tengkuk seraya meringis. Kali ini tantangan jauh lebih sulit.

"Gue gak bakalan tau kalau gak mencoba." Gadis itu mengangguk mantap dan kembali menjalankan aksinya.

Kali ini dia jauh lebih berhati-hati. Jika menghasilkan bunyi sedikit sang papa mungkin saja terbangun. Ada dua laci yang harus dia cek. Degupan jantungnya terdengar sangat keras di telinga. Dia berharap agar tidak melakukan kesalahan.

Laci pertama sudah dia buka, tetapi benda yang dicari tak ditemukan. Tangannya beralih mengecek ke laci lain, dan ketika melihat gantungan kunci berbentuk huruf A, Lifa langsung meraih benda tersebut. Dia segera memperbaiki keadaan laci seperti semula dan bergegas meninggalkan kamar itu.

"Akhirnya," pekiknya seraya memeluk erat kunci kamar Almira.

Dia melangkahkan kaki menuju kamar sang kakak. Ketika pintu berhasil terbuka gadis itu meloncat-loncat kegirangan. Sadar akan perbuatannya, dia segera masuk ke dalam dan menutup pintu. Gelap seketika menyapa, tak ada yang mampu Lifa lihat. Dia merogoh saku piama dan mengeluarkan ponsel.

"Saklarnya di mana," gumam gadis itu seraya mengarahkan lampu ponsel di dinding kamar, mencari di mana letak saklar.

Berhasil, Lifa langsung mematikan senter dan segera berkeliling di kamar Almira, mencari sticky note sang kakak. Dia yakin ada petunjuk di situ. Cukup lama dia menggeledah lemari, meja belajar serta laci-laci yang ada di sana, tetapi dia tak menemukan apa-apa.

Lifa menghempas badan di atas kasur seraya membuang napas panjang. Dia sudah menyusuri isi kamar tanpa mendapatkan yang dia inginkan. Kalau tidak di sini, terus ke mana benda itu? Lifa menggeram jengkel.

How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang