Udara malam menusuk kulit seorang gadis yang hanya mengenakan kaos biasa serta celana olahraga. Gemerisik dedaunan mengisi gang sepi minim cahaya. Meskipun demikian, Lifa tidak pernah takut melangkah, dia sudah terlalu sering keluar lebih larut daripada sekarang.
Perempuan yang mengurai rambut itu mengecek ponsel, melihat ke ujung gawai sebelah kanan. Seulas senyum miring tercipta begitu saja ketika jam baru menunjukkan pukul 22.00. Masih terlalu pagi menangisi kehidupannya di minimarket.
Sebenarnya bukan itu yang membuatnya keluar, melainkan pertengkaran mulut antara mama dan ayahnya. Andai saja dia tidak menceritakan semua kepada Melani, mungkin sekarang kediamannya akan tenang-tenang saja dan tetap dingin karena Safran masih enggan kembali seperti dulu.
Sekarang rumah bertingkat dua tersebut diisi teriakan dan makian satu sama lain. Permintaan penjelasan, alasan, dan penyampaian kekecewaan tumpah ruah dalam satu kesempatan. Daripada mendengar mereka, Lifa memilih pergi saja untuk menenangkan hatinya.
"Gue bener-bener kembali ke Jakarta hanya untuk menemukan fakta dan lo, Yan, sebagai masa lalu," lirih gadis itu ketika duduk di kursi seraya menatap hampa jalan di depan sana.
Gadis itu menghela napas panjang, segala memori sejak kembali ke tanah kelahirannya terpanggil. Ketika pertama kali memasuki rumah dan kamar, menginjakkan kaki ke sekolah, bertemu Gani dan Dean, serta menemukan cerita menyakitkan tentang Almira, dan tak lama lagi dia akan segera pindah meski baru bersekolah selama tiga bulan.
"Fa."
Lifa mendongak, melihat pemilik suara yang memanggilnya barusan. Dia tersenyum kecil dan membiarkan cowok berjaket parasut hitam itu duduk di depannya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Dean, matanya menatap tepat ke manik Lifa.
Lifa tertawa kecil. "Gue selalu ke sini kalau lo lupa."
Dean mengangguk, tak berselang lama dia berdiri dan berjalan mendekati gadis yang matanya menyipit karena menangis. Cowok itu melepas jaket dan menyampirkannya di kedua bahu Lifa.
"Hari ini dingin dan lo gak pakai jaket," ujarnya lalu kembali ke tempat duduk.
Lifa termenung seraya memegang jaket di pundaknya. "Kalau dingin kenapa kasih ke gue?"
"Biar lo konsentrasi nangisnya."
Gadis itu kembali tertawa kecil. "Lo pasti juga pengen nangis, udah am--"
"Gak! Pakai aja."
Karena Dean terus memaksa Lifa akhirnya dia pasrah. Netra kelam gadis itu tak mau melihat objek lain selain cowok berhidung mancung di depannya. Dalam benak banyak kata yang ingin dia sampaikan, tetapi dia memutuskan untuk menikmati momen saling tatap ini.
"Lo ... pasti benci sama gue," celetuk Dean, masih mengunci mata Lifa.
Lifa menunduk, berusaha melerai air mata. Dia tidak ingin menangis lagi. Benar, awalnya dia benci, tetapi kejadian yang menimpa sang kakak tidak terjadi karena kesalahan Dean, cowok itu bahkan tidak meminta dirinya berada di posisi tersebut. Lifa mendongak, memandang sorot sedih itu.
"Gue benci sama lo, tapi udah enggak. Gimana pun juga ini bukan kesalahan lo. Andai Kak Almira masih hidup dia pasti gak bakalan nyalahin lo."
Dean menggeleng. "Salah gue yang gak bisa cegah mama buat lakuin itu."
"Makasih udah nemenin hari-hari kakak gue." Tak ingin Dean terlalu menyalahkan diri, gadis itu berusaha menghibur meskipun sebenarnya dia jauh dari kata baik-baik saja.
Sekali lagi, ada banyak kalimat yang ingin dia sampaikan sebelum meninggalkan tempat ini, tetapi lidahnya sangat kelu, mulut tak ingin mengucapkan kesedihan yang paling mencekik. Pada akhirnya gadis itu kembali meneteskan air mata tanpa mau menyembunyikannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Fiksi Remaja"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...