Lifa menghadang Gani duduk di sebelahnya dan menarik cowok itu agar kembali ke singgasana semestinya. Gadis itu menyengir, membiarkan sang sahabat berceloteh panjang lebar. Dia ingin Dean duduk di kursi semula dan berharap semua berjalan seperti dulu.
"Duduk yang nyaman di situ." Lifa memudarkan senyum ketika sudah menghadap pintu.
"Dean bakalan nyuruh gue pindah," ucap Gani sambil meringis.
Gadis berikat rambut itu menjatuhkan diri di kursi dengan wajah ditekuk. Dia baru ingat bahwa kemarin cowok itu bersikap aneh. Lifa mengetuk-ngetuk meja menggunakan pulpen sembari memikirkan apa penyebab Dean seperti kemarin dan mengapa dia dihindari.
Lifa sudah menyebutkan hal yang menurutnya menjadi sebuah kesalahan, tetapi Dean malah menampik bahwa dia tak memiliki salah apa-apa. Mengejutkan lagi karena Dean mengucap maaf dan kabur begitu saja. Sudah jelas ada yang tak beres. Mengapa Dean memiliki banyak sesuatu yang tak terduga?
"Gan, Dean aneh tau," lapor Lifa seraya menggaruk pipi.
Gani hanya menggumam, sama sekali tidak beralih atensi memperhatikan Lifa. Gim selalu menjadi fokus utama jika sudah tenggelam ke dalam dunia tiga dimensi tersebut. Melawan musuh jauh lebih penting daripada meladeni wajah memelas gadis itu.
Karena tidak mendapat respons berarti, Lifa menarik ponsel di tangan Gani hingga membuat cowok itu tersentak. Dia mengamankan ponsel sang sahabat di laci mejanya. Mata tajam Lifa menyorot tajam Gani yang sedang menekuk wajah.
"Balikin ponsel gue, Lifa."
"Gak! Pantes aja lo gak pernah punya pacar. Game online jadi prioritas utama," omel gadis itu.
Gani menyandarkan punggug di kursi sambil mengacak rambut. "Kayak pacaran penting aja. Tanpa pacar pun hidup gue gak ngenes, gak kayak lo, tuh, muka murung gegara cowok."
Lifa memukul lengan Gani saking kesalnya. Namun, benar juga apa yang dikatakan cowok itu. "Ah, bodo amat. Dengerin gue, Gan. Kali ini serius Dean aneh banget."
"Dean kenapa lagi elah." Gani belum sepenuhnya ingin serius menanggapi, dia masih jengkel mengingat dia hampir mengalahkan musuh, tetapi malah gagal gara-gara Lifa.
"Dia ngucap maaf berkali-kali ke gue, terus pergi gitu aja. Bukan hanya itu, dia nangis sambil narik-narik rambut."
Gani sigap menegakkan punggung dan menyeret kursinya agar semakin dekat dengan Lifa. Dia menyuruh sang sahabat kembali menceritakan kejadian kemarin dari awal sampai akhir. Sementara mendengar, dia mencoba menebak-nebak apa yang membuat Dean seperti itu.
Pasalnya kejadian yang diceritakan Lifa hanya bisa dia dapatkan saat Dean sedang frustrasi karena gagal mendapat nilai tinggi dan setelah dimarahi oleh Fika. Namun, kali ini berbeda sebab semua yang diceritakan oleh cewek ini tidak mengarah kedua hal tersebut.
"Menurut lo Dean kenapa?" Selesai bercerita, Lifa mengembalikan ponsel Gani karena cowok itu sudah fokus ke arahnya.
"Gue juga gak tau. Tapi, dia kayak gitu waktu lo ngungkit Kak Almira?"
Lifa mengangguk mantap hingga membuat Gani kembali berpikir keras. Cukup lama mereka saling diam dan memikirkan penyebab Dean bersikap aneh, hingga bel pelajaran pertama berbunyi dan mereka baru tersadar Dean belum datang.
"Gan, Dean gak datang?"
Gani sigap menelepon Dean, tetapi tidak tersambung. Tanda tanya di kepala sepasang sahabat itu semakin membesar. Gani yakin seratus persen ada hal yang tak dia ketahui tentang cowok itu.
"Ponselnya mati."
"Dean baik-baik aja, 'kan? Duh, gue semakin bersalah. Ini pasti gara-gara kemarin." Lifa mengacak rambut, sedetik kemudian membenturkan kepala di meja.
"Fa! Sadar woy, gak gitu juga kali."
"Dean absen gara-gara gue."
"Kita gak tau apa-apa. Gue yakin ada hal lain yang berkaitan dengan Kak Almira."
"Kak Almira?"
Kegiatan seluruh siswa di dalam kelas IPA satu terinterupsi oleh kehadiran guru. Mereka kompak memperbaiki tempat duduk masing-masing dan bersiap menerima pelajaran hari ini.
Bu Tika melirik ke bangku Dean dan terkejut tidak mendapati murid rajin itu. "Dean ke mana?"
Seisi kelas kompak menggeleng tidak tahu. Bu Tika mengangguk meski penasaran kenapa murid serajin dan sepintar Dean absen kelas hari ini.
"Ya sudah, buka buku paket halaman lima puluh."
~~~
Dean semakin menelengkup di bawah selimut, telinga ditutup bantal. Dia tidak membiarkan teriakan sang mama mengisi gendang telinga. Air matanya sangat panas hingga membuatnya meringis, sakit kepala dari semalam tak kunjung reda, panas tubuhnya bahkan tak surut. Padahal dia sudah meminum obat.
"Dean! Ke sekolah sekarang," titah Fika dari luar sebab Dean mengunci akses kamarnya sejak subuh.
Cowok itu memejam, lalu kembali membuka mata ketika bunyi debuman keras terdengar dari benaknya. Dean berteriak, tetapi suaranya teredam oleh bantal. Sampai kapan dia terjaga seperti ini? Sejak semalam dia tak dapat tidur karena selalu dibayangi oleh suara tabrakan.
"Tolong ...," lirihnya.
Gedoran dari luar sudah tak terdengar. Dean keluar dari selimut, susah payah bersandar di kepala ranjang. Dia menangis sesegukan bukan karena amarah Fika, melainkan menangisi takdir yang membuatnya seperti ini. Andai hari itu dia menolak hadir dia tidak akan melihat kejadian yang kini kembali membayang-bayanginya setelah bersusah payah berjuang melawan.
"Maaf, Ra." Tangisnya semakin pecah ketika melihat bayangan gadis itu terkapar di jalan.
Pintu terbuka lebar, menampilkan Fika dengan pengikat pinggang di tangan. Wanita itu mendekati Dean yang sama sekali tidak terkejut. Akan tetapi, dia cukup kaget karena melihat wajah pucat, mata memerah penuh air mata putranya. Dia mendekati Dean dan berkacak pinggang di samping ranjang sang anak.
"Ke sekolah sekarang!"
Dean tersenyum pilu, mata sayunya menyorot netra tajam sang mama. Di saat seperti ini dia bahkan tidak bisa menyentuh sisi lembut wanita yang susah payah melahirkannya. Dean berusaha turun dari kasur dan berjalan lunglai memasuki kamar mandi.
Sebelum benar-benar masuk ke sana, Dean kembali menatap mamanya. "Ma, Dean mohon kita selesaikan kasus ini sebagai mana mestinya." Dia menarik napas sejenak, "dan biarin Dean bebas."
Mendengar ucapan Dean yang terdengar putus membuat Fika terenyuh sesaat, tetapi wanita itu kembali menatap bengis sang anak. "Jangan macam-macam kamu Dean! Ke sekolah sekarang!"
Dean menumpukan tangan di pintu kamar mandi ketika sakit kepala semakin mendera. Mamanya sudah beranjak dan membanting pintu kamar sangat keras.
Cukup lama Dean bersiap-siap ke sekolah, dia harus melawan sakit yang sama sekali tak memberi ampun. Sampai di tempat tujuan pun dia harus menjelaskan perkara keterlambatannya kepada satpam dan pada akhirnya dia berhasil berjalan di koridor dengan keadaan lunglai.
Koridor sedang ramai diisi oleh siswa-siswi sebab sudah waktunya istirahat. Banyak mata menatap bingung, bisik-bisik dapat cowok itu dengar. Tentu saja kehadiran dirinya dalam keadaan kacau seperti ini menjadi hal misterius yang patut mereka diskusikan.
Sedikit lagi kakinya mencapai pintu kelas, dan ketika sudah berhasil dia malah terjatuh dan membuat sesisi ruangan terkejut dan mendekatinya. Samar-samar dia mendengar suara Lifa meneriakkan namanya dan menit berikutnya dia sudah kehilangan kesadaran.
~~~
Day 14
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Roman pour Adolescents"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...